Keluar dari program IMF: Antara semangat dan realitas
Sepekan lalu, Kwik Kian Gie mengekspresikan frustasinya terhadap wacana yang berkembang seputar pengakhiran program Dana Moneter Internasional (IMF) akhir tahun ini (Kompas, 12 April). Dalam tulisan beliau, tercermin kemarahan, baik terhadap IMF maupun terhadap para ekonom yang ingin menimbang ulang keputusan tersebut.
Jiwa tulisan tersebut amat khas Pak Kwik, dengan semangat kemandirian yang selalu diperjuangkannya. Baginya, Indonesia mampu mengelola ekonominya sendiri tanpa perlu dibantu (ataupun dimandori) asing. Saya pun mendukung semangat tersebut – meskipun, seperti akan diungkapkan nanti, dengan pemahaman yang sedikit berbeda.
Selain sepaham dengan semangatnya, saya pun setuju beberapa fakta yang dipaparkannya seputar kegagalan IMF di Indonesia. Mulai dari blunder penutupan 16 bank tanpa jaminan deposan, sampai dengan keputusan melakukan manajemen ekonomi mikro (yang bukan kompetensi IMF), semuanya menodai kredibilitas domestik IMF. Sepaham pula dengan beliau, saya pun berharap IMF sesegera mungkin meninggalkan Indonesia.
Namun, sesegera mungkin tidak serta merta berarti sekarang. Untuk mengevaluasi waktu pengakhiran yang tepat, semangat kemandirian tersebut harus dicocokkan dengan realitas ekonomi. Di sinilah saya tidak sepaham dengan Pak Kwik – dan tulisan ini menjelaskan alasannya.
IMF dan arah kebijakan
Terdapat dua ekstrem cara pandang tentang IMF. Yang pertama menganggapnya sebagai penyelamat – segala permasalahan ekonomi, dari soal anggaran sampai dengan perihal kepercayaan internasional hanya mungkin dengan stempel IMF. Sebaliknya, ekstrem lain mengambil posisi “apapun jadi asal bukan IMF“– dengan kata lain, menjadikan anti-IMF modus kebijakan.
Seorang pembuat kebijakan menjebak dirinya sendiri jika menganut satu dari kedua ekstrem ini. Dengan mengondisikan pilihan kebijakan pada faktor yang kecil dampaknya pada hasil kebijakan, seorang pembuat kebijakan bisa malahan mengabaikan tujuannya yang terutama – yang, dalam hal ini, adalah menciptakan kondisi untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Apakah yang penting untuk itu? Ada dua hal. Pertama, kerangka dan arah kebijakan yang kondusif untuk kegiatan ekonomi. Ini berarti perlu ada rencana kebijakan yang kredibel serta kondusif untuk aktivitas ekonomi. Kedua, pemerintahan yang kuat, baik secara finansial maupun politis, yang oleh para pelaku ekonomi dianggap mampu menjalankan rencana yang dibuatnya sendiri.
Sebelumnya, saya katakan bahwa pengaruh IMF pada pilihan kebijakan kecil, setidaknya dua tahun terakhir ini. Buktinya? Beberapa waktu lalu, sekelompok ekonom dan politisi anti-IMF mempersiapkan rencana kebijakan ekonomi pemerintah pasca keluarnya IMF dari Indonesia. Menariknya, sebagian besar butir rekomendasi kebijakan tersebut – kecuali beberapa yang, tanpa IMF pun, mungkin akan ditolak pemerintah karena besar risikonya – ternyata ada atau pernah ada dalam Letter of Intent (LoI) pemerintah Indonesia ke IMF.
Jika demikian, tidak seperti yang sering dituduhkan, ternyata pengaruh program IMF terhadap arah kebijakan itu kecil. Namun, bagaimana dengan efeknya terhadap pemerintahan yang kuat?
Program IMF sebagai hak
Bagi saya, kuat-tidaknya sebuah pemerintahan hanya bisa dibuktikan oleh pemerintah itu sendiri. Tanpa stempel IMF pun, pelaku pasar cukup jeli menilai keberpihakan sebuah pemerintahan – pada aktivitas ekonomi atau lainnya (kepentingan politik, misalnya). Hanya saja, destabilisasi keuangan pemerintah oleh krisis dapat memaksa pemerintah menggunakan sumber daya non-finansialnya untuk membantu stabilisasi keuangan. Salah satunya adalah keanggotaan di IMF.
Sebagai anggota, pemerintah Indonesia berhak atas fasilitas pinjaman neraca pembayaran berbunga lunak dan bantuan teknis melalui program IMF jika membutuhkan. Selain itu, partisipasi dalam program ini memungkinkan penjadwalan utang dari kelompok negara kreditur, Paris Club.
Alangkah ruginya jika pemerintah tidak menggunakan fasilitas yang menjadi haknya. Namun, dalam semangat kemandirian, kita pun tidak ingin berlama-lama menggunakan fasilitas bantuan ini – dan setelah selesai, jangan sampai terpaksa menggunakannya lagi. Artinya, sebaiknya fasilitas ini dipakai sampai kondisi anggaran pemerintah cukup stabil untuk menghindari terulangnya krisis dalam waktu dekat.
Apakah kondisi anggaran pemerintah pada 2004 sudah stabil? Mengacu pada APBN tahun ini, pemerintah butuh sekitar Rp. 45 trilyun untuk pembayaran utang luar negeri (LN) dan Rp. 20 trilyun untuk utang dalam negeri (DN). Selain itu, dengan asumsi defisit anggaran 1 persen PDB (sangat optimis, terutama dalam tahun Pemilu), dibutuhkan tambahan sekitar Rp. 20 trilyun. Maka, total kebutuhan pembiayaan anggaran adalah Rp. 85 trilyun.
(Catatan: diskusi tentang keuangan pemerintah terkesan sering mencampuradukkan antara cadangan devisa dan APBN. Memang benar cadangan devisa kita pada US$ 32 milyar cukup stabil. Namun, masalah utama pemerintah pasca-IMF adalah pada anggarannya – dan cadangan devisa tidak dapat digunakan untuk membiayai APBN.)
Tanpa program IMF, penjadwalan ulang Paris Club, yang pada tahun 2003 mengurangi beban anggaran Rp. 27 trilyun, tidak ada lagi. Pak Kwik tidak percaya negara kreditur anggota Paris Club akan tega menolak penjadwalan ulang bilateral. Ini bukan persoalan tega atau tidak: Paris Club didasarkan atas solidaritas negara kreditur, didirikan antara lain untuk mencegah penyelesaian bilateral. Penyelesaian bilateral oleh salah satu anggota akan menihilkan Paris Club – dan karena biaya akibat keruntuhan Paris Club bagi negara kreditur lebih mahal daripada keuntungan dari penyelesaian bilateral, mereka takkan melakukannya.
Mencari alternatif pembiayaan
Maka dibutuhkan sumber lain. Dua yang non-kontroversial adalah penerbitan obligasi dan penggiatan realisasi sumber-sumber dana LN yang ada, misalnya melalui kerangka Consultative Group on Indonesia (CGI). Cukup tidaknya kedua sumber ini menutup kebutuhan anggaran sulit dipastikan, namun yang pasti adalah bahwa optimalisasinya membutuhkan pemerintahan yang kredibel dan efektif di mata calon pembeli obligasi maupun lembaga donor.
Pertanyaannya, apakah pemerintah sekarang ini kredibel atau efektif? Sulit bagi saya untuk jujur menjawab ‘ya’ melihat seringnya percekcokan kebijakan dalam tim ekonomi, mudahnya pemerintah mundur dari kebijakan penting yang tidak populis, ataupun bahwa delapan bulan sebelum berakhirnya program IMF, belum ada exit strategy yang jelas. Untuk yang terakhir ini, bandingkan dengan Korea dan Thailand yang telah mempersiapkan exit strategy lebih dari setahun sebelum berakhirnya program.
Maka, masalahnya adalah mampukah pemerintah meyakinkan pelaku ekonomi akan kredibilitasnya dalam tempo delapan bulan – apalagi, di tengah pelbagai manuver politik persiapan Pemilu?
Yang kemudian tersisa adalah kebijakan-kebijakan kontroversial seperti, misalnya, ngemplang utang LN. Mudah terucap oleh pembuat kebijakan, namun risikonya terhadap investasi terlalu besar – cukup, bahkan, untuk menjerumuskan Indonesia kembali ke dalam krisis. Dan, sekadar mengingatkan, yang terutama menderita oleh krisis bukanlah para pembuat kebijakan, melainkan rakyat kecil yang tidak mampu mengelola risiko keuangan dengan, misalnya, membeli dolar.
Paradoks kemandirian
Dengan segala hormat atas kejujuran dan kiprah Pak Kwik membenahi penanganan negara, ada kesan bahwa beliau terjebak dalam ekstrem kedua dengan menjadikan anti-IMF modus kebijakan. Ini menyulitkan pencarian kebijakan terbaik dalam kondisi riil Indonesia sekarang.
Tantangan di atas tentunya tidak serta merta membuktikan perlunya perpanjangan kontrak dengan IMF. Namun, kecuali pemerintah menunjukkan kemampuan mengatasinya dengan strategi yang jelas, menyeluruh dan kredibel – bukan dengan retorika yang menggampangkan masalah atau rekomendasi sporadis-kontroversial yang berisiko – maka tidak bijaksana menutup wacana seputar perpanjangan kontrak tersebut. Apalagi karena yang terutama akan menderita akibat sebuah kebijakan yang emosional ataupun tergesa-gesa adalah rakyat kecil.
Di sini, semangat kemandirian membawa sebuah paradoks. Kemandirian dapat ditafsirkan sebagai sikap menolak keterlibatan asing dalam setiap aspek pengelolaan bangsa. Meskipun terkesan ideal, pada realisasinya penafsiran ini justru dapat menjerumuskan bangsa lebih jauh ke dalam ketidakmandirian – apalagi, misalnya, jika mengakibatkan terulangnya krisis yang memaksa dilelangnya lebih banyak lagi aset ke pihak asing.
Namun, ini bukan penafsiran satu-satunya. Kemandirian dapat pula dipahami sebagai kemampuan menentukan arah kebijakan sendiri dan mencapainya menggunakan instrumen yang ada – termasuk instrumen asing seperti IMF dan Bank Dunia bila perlu. Dengan penafsiran ini, perpanjangan kontrak dengan IMF adalah soal sepele; yang terutama adalah adanya arah kebijakan yang jelas, yang ditentukan bangsa Indonesia sendiri, untuk kemakmuran rakyatnya.
Ironisnya, alih-alih yang utama, kita justru lebih meributkan yang sepele.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home