Indonesia | Economics

Friday, October 03, 2003

Pajak transaksi valas, instrumen stabilisasi yang salah sasaran

Pajak Tobin atau pajak transaksi valuta asing memang proposisi menarik bagi masyarakat yang baru saja mengalami trauma pasca-krisis nilai tukar. Tapi apakah memang ini solusinya?

(3 Oktober 2003, Kompas) Baru-baru ini muncul kembali usulan untuk menerapkan pajak atas transaksi valuta asing. Alasannya, pendukung yang kerap digunakan adalah stabilisasi, baik stabilisasi nilai tukar maupun "stabilisasi" fiskal. Menyusul trauma pascajatuhnya nilai tukar rupiah dalam krisis, instabilitas nilai mata uang menjadi momok masyarakat sehingga seandainya saja benar, alasan pertama mungkin cukup membenarkan pajak tadi. Namun, agaknya justru bentuk stabilisasi kedualah alasan utama pemerintah: mengingat besarnya volume harian transaksi valas, pemasukan dari pajak transaksi valas akan amat menggiurkan.

Kalau argumentasi ini benar, ini sebuah solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) yang patut didukung. Namun, setiap win-win solution perlu dicermati dengan sikap skeptis. Untuk hal ini, sikap skeptis tersebut memiliki alasan kuat karena ternyata fungsi stabilisasi yang dijanjikan pajak valuta asing (valas) mudah sekali teringkari.

Ide pajak transaksi valas ini memang bukan muncul dari sembarang orang. Pertama kalinya ide ini dicetuskan James Tobin, pemenang Nobel Ekonomi, dalam kuliah umumnya di Universitas Princeton pada tahun 1972. Tobin mengamati bahwa gerakan pasar uang yang terlalu fluktuatif, sering kali tidak didasarkan pada analisis rasional kekuatan mata uang tertentu, melainkan spekulasi belaka. Fluktuasi "berlebihan" menciptakan instabilitas pada sektor riil, serta mengganggu mulusnya aktivitas pasar. Karena itu, untuk mengurangi fluktuasi tersebut, Tobin mengusulkan diterapkannya pajak internasional yang seragam atas transaksi spot di pasar uang. Tujuannya, meningkatkan biaya transaksi bagi para spekulan pasar uang.

Umumnya, jarang sebuah ide ekonomi teoretis menarik, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Namun, ide Tobin ini segera mendapatkan pengikut dari kedua kelompok tersebut. Alasannya? Pada tahun 2001, transaksi rata-rata di pasar valas dunia sebesar 1,2 triliun dollar AS setiap harinya sehingga tarif amat kecil sekalipun menjanjikan pemasukan pajak yang mengesankan. Tak heran jika mereka yang tergiur janji pemasukan pajak menyalahgunakan ide Tobin dan mengibarkan janji stabilisasi nilai tukar tanpa menelaah ulah kebenaran janji-janji tersebut jika konteks penerapannya berbeda dari usulan aslinya.

Pada kenyataannya, bahkan dalam bentuk aslinya, pajak transaksi valas seperti yang diusulkan Tobin, walau elegan secara teoretis, dijangkiti pelbagai masalah praktis. Jelas tidak semua transaksi pasar valas menciptakan instabilitas pasar-transaksi tertentu, misalnya seperti yang dilakukan financial intermediaries (intermediasi finansial) maupun para market maker (pembentuk harga di pasar), justru meningkatkan stabilitas dengan menciptakan likuiditas di pasar.

Jika tujuan akhirnya adalah mengurangi volatilitas pasar, yang seharusnya diincar adalah para spekulan yang melakukan transaksi untuk keuntungan jangka pendek. Masalahnya, tidak mudah membedakan transaksi para spekulan dengan para pencipta likuiditas, terutama karena rumitnya permainan instrumen-instrumen keuangan. Misalnya, jika pajak diterapkan hanya pada pasar spot, pemain valas bisa mulai bermain pada pasar turunan atau derivatif untuk menghindari pajak.

Rumitnya permainan dalam pasar finansial, bukan hanya mengharuskan adanya otoritas moneter internasional yang mengerti benar seluk-beluk permainan di pasar uang, tetapi juga otoritas moneter yang mampu berkoordinasi efektif dengan otoritas moneter lain. Tentu saja, masalah yang lebih besar lagi adalah dari laporan media massa. Agaknya usulan yang muncul adalah penerapan pajak secara unilateral (dan bukan koordinasi internasional) dalam pasar uang domestik.

Jika tujuannya mengurangi fluktuasi, jelas ini tidak masuk akal. Ide pajak Tobin hanya akan efektif jika dilakukan secara seragam pada seluruh pasar uang dunia. Jika tidak, bayangkan betapa mudahnya bagi spekulan untuk memindahkan transaksinya keluar Indonesia, dan tetap melakukan spekulasi atas rupiah menggunakan layanan asing. Ironisnya, justru pajak seperti ini dapat melemahkan institusi penyedia likuiditas di pasar domestik tanpa mengurangi spekulasi.

***
Jelas pajak valas tidak mengurangi volatilitas nilai tukar. Namun, bagaimana dengan peningkatan pemasukan negara?

Penerapan pajak secara domestik akan mampu dihindari para spekulan valas. Karena itu, yang akan terkena imbas pajak valas justru adalah para pencipta likuiditas, lembaga keuangan, maupun eksportir dan importir domestik kecil dan menengah. Maka, peningkatan pemasukan pajak kemudian akan berjalan sejajar dengan naiknya cost of capital (dan turunnya investasi) maupun biaya transaksi untuk eksportir dan importir (dan turunnya perdagangan internasional).

Karena baik investasi dan perdagangan internasional penting bagi pertumbuhan, amat mungkin pajak atas transaksi valas akan dibarengi melambatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, meskipun dalam jangka pendek akan ada peningkatan penghasilan negara. Peningkatan ini belum tentu berkelanjutan karena pertumbuhan yang lambat tentunya akan menggerogoti basis pajak. Maka, dampak pajak ini terhadap total penghasilan negara masih ambigu.

Selain itu, yang kemudian akan banyak dibebani justru pengusaha kecil dan menengah. Tak seperti para pengusaha besar dan konglomerat yang dapat menggunakan layanan institusi keuangan internasional (yang akan dengan fasihnya menghindari pajak domestik seperti ini), pengusaha kecil-menengah maupun konsumen tak akan dapat menghindari peningkatan biaya transaksi ini. Itu berarti posisi pengusaha kecil-menengah justru diperlemah relatif terhadap pengusaha besar, menunjukkan problematika kebijakan ini dari sisi keadilan sosial.

***
Yang menarik dicermati dalam debat pajak transaksi valas ini adalah betapa efektifnya penggunaan alasan stabilisasi nilai tukar untuk menjaring dukungan, bahkan dari kalangan teknokrat sekalipun. Alasannya mudah dimengerti. Jatuhnya nilai tukar rupiah pada tahun 1997-1998 menciptakan sentimen negatif terhadap para pemain pasar uang dan fobia atas fluktuasi nilai tukar. Walau sentimen terhadap spekulan dapat dimengerti, ketakutan berlebih atas fluktuasi nilai tukar rupiah perlu ditelaah ulang. Terutama karena perubahan mendasar rezim moneter menyusul krisis, seharusnya melenyapkan kekhawatiran itu.
Keruntuhan nilai tukar rupiah pada awal krisis disebabkan terutama oleh karena penerapan varian dari rezim nilai tukar terpatok (fixed exchange rate) di Indonesia, di mana Bank Indonesia diharuskan mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu menggunakan cadangan devisa. Karena keharusan ini, pada awal krisis, para spekulan kemudian "bertaruh" bahwa cadangan devisa BI takkan mampu menghadapi serangan mereka. Ketika spekulan terbukti benar, terjadi efek domino yang mengkoreksi nilai tukar ke level yang sesuai dengan tingkat kepercayaan pasar, dan jauh di bawah tingkat yang dipertahankan BI sebelumnya.

Menyusul krisis, secara resmi BI memutuskan tidak lagi menggunakan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu, sistem yang dikenal sebagai rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Tanpa keharusan mempertahankan nilai tukar, para spekulan tak bisa lagi "bertaruh" melawan BI sehingga fluktuasi nilai tukar rupiah tak akan pernah lagi sedahsyat awal krisis-terbukti dari kalemnya reaksi pasar uang terhadap pelbagai insiden bom. Maka, kecuali BI kembali ke rezim fixed exchange rate, alasan fluktuasi berlebihan nilai tukar rupiah seharusnya tak sahih lagi sebagai pembenar kebijakan di Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home