Indonesia | Economics

Tuesday, July 04, 2006

Perlakuan khusus untuk KPK?

Perlakuan khusus biasanya diberikan kepada orang yang khusus juga. Para pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, salah institusi pemerintah yang populer di hampir semua kalangan – dan, for once untuk sebuah institusi pemerintah, popularitas itu bukan karena hal negatif. Dan karena itulah KPK diperlakukan secara khusus: Setelah dua setengah tahun bekerja, para pimpinan KPK masih juga belum punya kepastian tentang gaji yang mereka terima

Ekonom punya "peribahasa": people respond to incentives. Insentif bukan soal uang saja, tapi, secara umum, penghargaan yang membuat seseorang merasa jerih lelahnya tidak sia-sia. Apresiasi masyarakat, perasaan telah melakukan sesuatu yang baik bagi banyak orang, misalnya, menjadi insentif buat para anggota KPK. Gaji pun insentif yang tidak kalah pentingnya. Ekspektasi akan total insentif atau penghargaan yang didapat inilah yang memotivasi kinerja seseorang.

Upaya pemerintah mempengaruhi insentif ini – lewat keseriusan meresponi kebutuhan institusi bersangkutan – mencerminkan ketertarikan pemerintah pada pekerjaan institusi yang bersangkutan. "Perlakuan khusus" atas gaji pimpinan KPK ini mencerminkan betapa pemerintah (dan birokrasinya) "menghargai" pencapaian KPK membongkar pelbagai kebobrokan di pemerintah.

3 Comments:

  • Arya,
    Sorry pindah ke sini ngobrolnya, soalnya topiknya di sana sudah nggak pas,OOT:)
    Sekedar komentar:
    Apakah yakin dgn KPK gajinya tinggi bakal bagus kinerjanya? Bukankan orang2x KPK terdiri dari orang2x bekas polisi dan kejaksaan, suatu organisasi yg tidak bersih juga? Dan sampai skrgpun masih terdengar sayup2x kalo orang KPK ada maen juga utk kasus2x yg tidak populer.
    Kalau memang dgn gaji bagus bisa mencegah perilaku korup, mengapa hal ini tidak terjadi di Pertamina yg gajinya cukup bagus?

    By Anonymous Anonymous, at 7/05/2006 11:44:00 am  

  • Be,

    Bagi saya, gaji mempengaruhi kinerja lewat ekspektasi. Pilihan kita bekerja kan tidak melulu soal gaji, tapi ekspektasi kita tentang apa yang kita dapat (ada gaji di sana, tapi selain itu juga kepuasan bekerja dsb). Kinerja baik adalah respon terhadap ekspektasi yang terpuaskan.

    Kalau mau mulai dengan pikiran baik bahwa mereka yang bergabung di KPK lebih banyak melakukannya karena idealisme (karena kalau bicara gaji, Rp30 juta sebulan buat Erry Riyana Harjapamengkas mungkin kecil), maka saya memakai prinsip Anda lagi nih: "lama sama maling jadi maling, lama sama santri jadi santri". Tentunya tidak semua orang yang masuk KPK itu punya niat baik, tetapi selama cukup banyak 'santri', maling bisa belajar jadi santri -- dan kalau ketahuan, bisa dikeluarkan.

    Nah, yang saya jadi masalah adalah ketika pemerintah "mengkhianati" ekspektasi itu dengan tidak membayarkan gaji sesuai janji pada proses rekrutmen. Lagi, yang jadi masalah bukannya besaran gaji itu an sich, tapi bahwa ketika orang merasa diperlakukan tidak adil, ada kecenderungan alami untuk "balas dendam". Kadang, balas dendamnya bukan ke objek penyebab perlakuan tidak adil tapi justru ke orang lain -- tersangka korupsi yang sedang mereka sidik misalnya.

    Kalau ketidakpuasan ini terakumulasi, jangan-jangan mulai terjadi pergeseran kolektif dari 'santri' ke 'maling', yang terjadi bukan karena sejak awal ada keinginan untuk itu, tapi karena para anggota KPK lain menjadi toleran terhadap sikap yang mereka anggap sebagai "sekadar upaya memenuhi kebutuhan hidup". Ini juga di balik sikap "pengertian" banyak orang terhadap korupsi banyak pegawai negeri, terutama golongan rendah.

    Inilah masalahnya. KPK, yang dibangun dengan keinginan menjadikan 'kejujuran' sebagai norma yang socially-acceptable dihadapkan pada kontradiksi karena pemerintah justru memperlakukan para anggotanya secara tidak jujur. Jadi, dalam hal KPK, bagi saya bukanlah soal besaran gaji tapi bagaimana ekspektasi yang dikecewakan jangan-jangan menciptakan tipping point yang merusak KPK dari dalam.

    Terakhir, yang menjadi masalah terbesar, adalah isyarat yang dikirimkan pemerintah tentang dukungannya pada upaya memberantas korupsi. Kalau KPK dibiarkan begini, bukankah ini isyarat bahwa pemerintah sendiri tidak terlalu serius dengan institusi pemberantas korupsi yang dibentuknya sendiri?

    (PS: Kalau Pertamina, mereka yang masuk sadar atau sudah mempunyai ekspektasi tentang korupsi tersebut (apalagi dengan begitu transparannya korupsi Ibnu Sutowo)... Jadi, jangan terlalu heran lah...

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/06/2006 01:37:00 am  

  • Setuju dgn pendapatnya soal KPK.
    Kalo soal Pertamina, saya yakin mereka rusaknya ya setelah di pertamina. Karena mereka masuk rata2x "fresh graduate", masih bersih, tapi nyemplung dalam sungai yg kotor. Kalau mau tetep bersih ya harus mau di pinggirkan dan bisa2x nggak naek2x pangkat jadinya.

    By Anonymous Anonymous, at 7/06/2006 08:26:00 am  

Post a Comment

<< Home