Menyoal tudingan konspirasi di balik melemahnya rupiah
Sistem nilai tukar mengambang, kata Kwik Kian Gie, lebih memancing spekulasi. Ah, masa sih?
(27 Mei 2004, Bisnis Indonesia) Dalam tulisan berjudul "Nilai Rupiah yang Bergejolak" (Bisnis, 14 Mei 2004), Kwik Kian Gie menawarkan teori konspirasi yang menghubungkan sistem nilai tukar dan gejolak politik. Menurut dia, sistem nilai tukar mengambang di Indonesia membuka kesempatan pemerasan politik.
Dalam sistem nilai tukar mengambang, siapapun dengan cukup uang - Kwik memperkirakan US$1 miliar sudah lebih dari cukup - akan mampu memanipulasi nilai tukar sekehendak hati.
Karena itu, menurut dia, sang pemilik US$1 miliar bisa memaksa pemerintah melakukan kebijakan sesuai kehendaknya menggunakan ancaman destabilisasi nilai tukar.
Teori konspirasi tadi memang menarik, dan sekilas cukup meyakinkan. Sayangnya, teori itu didasarkan pada analisis yang tidak lengkap - dan tidak tepat -tentang perilaku pelaku pasar menyikapi sistem nilai tukar mengambang.
Tulisan ini menyelisik analisis yang mendasari teori konspirasi tersebut; sedangkan perihal teori konspirasinya, biarlah pembaca sendiri yang memutuskan.
Sinopsis skenario
Berikut sinopsis skenario konspirasi itu. Misalkan saya berniat 'mengerek' nilai tukar rupiah ke tingkat Rp15.000/US$. Untuk mencapai misi ini, saya mulai dengan membeli dolar secara bertahap di atas harga indikatif bank dalam jumlah banyak - senilai US$100 juta, misalnya.
Begitu seluruh rupiah yang khusus saya sediakan untuk ini menjadi dolar, saya jual tukar lagi semuanya menjadi rupiah (dengan nilai yang lebih rendah) dan saya ulang lagi proses tadi.
Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan mampu saya tekan ke tingkat berapapun. Pada akhir proses ini, saya tentu saja akan merugi; namun jika saya memiliki motivasi politik, kerugian ini kecil relatif dengan keuntungan yang bisa saya raih jika, misalnya, pemerintah sekarang tergusur.
Dalam skenarionya ini, Kwik percaya US$1 miliar akan cukup melemahkan rupiah sampai ke tingkat Rp15.000/US$.
Skenario ini menarik, namun tidak lengkap. Masalahnya, asumsinya kurang realistis: bahwa saya pemain tunggal di pasar valas yang mampu menentukan harga. Adalah lebih realistis mengandaikan adanya pemain valas lain. Perubahan kecil ini memutarbalikkan kesimpulan di atas.
Agar lebih konkrit, anggap awalnya nilai aset saya Rp8,5 triliun dan nilai tukar Rp8.500/US$. Untuk memancing nilai rupiah ke atas, saya beli US$100 juta pada Rp9.000, sehingga terjadi lonjakan nilai tukar yang tidak biasa. Sementara, nilai aset saya sekarang tinggal Rp7,6 triliun dan US$100 juta.
Namun, lonjakan yang tidak biasa ini ternyata diawasi juga oleh pengamat valas di tempat lain, negara lain, bahkan benua lain, yang melakukan spekulasi mata uang Asia. Karena sistem nilai tukarnya mengambang, sang pengamat tahu lonjakan tadi bukanlah hasil intervensi pemerintah.
Maka dia pun mencari alasannya - dan menemukan bahwa tidak ada alasan berpikiran negatif tentang prospek ekonomi (dan mata uang) Indonesia. Dari sisi politik maupun kebijakan, semuanya aman-aman saja, bahkan cenderung positif.
Percaya lonjakan itu tidak beralasan, dia pun melihat kesempatan mengambil untung dengan menjual dolar terhadap rupiah. Dalam hal ini, kemungkinan dia tidak sendiri. Pemain valas lain yang melihat fenomena yang sama, akan bereaksi serupa.
Di sini, walaupun dolar yang dijual masing-masing pemain sepersekian dari US$100 juta, jika ini dilakukan oleh banyak pemain, totalnya akan mencapai US$100 juta. Alhasil, nilai tukar rupiah akan kembali menguat dan cenderung kembali ke Rp8.500/US$.
Akibatnya saya merugi: nilai aset turun dari Rp8,5 triliun menjadi Rp8,45 triliun (= Rp. 7,6 triliun + US$100 juta × Rp. 8.500/US$). Bukan itu saja: usaha saya melakukan destabilisasi gagal karena rupiah relatif tidak bergerak. Jika tetap berkeras dengan strategi ini, saya akan jatuh miskin.
Sulit dimanipulasi
Skenario sederhana di atas menunjukkan sulitnya memanipulasi nilai tukar mata uang dalam sistem nilai tukar mengambang. Sebab, dalam sistem nilai tukar ini, ada keterkaitan langsung antara nilai tukar dan (persepsi tentang) kondisi fundamental ekonomi.
Di sinilah muncul sebuah paradoks. Anggapan umum adalah sistem nilai tukar mengambang lebih tidak stabil daripada sistem yang lebih memberikan kontrol bagi otoritas moneter seperti sistem nilai tukar terpatok (fixed) atau sistem mengambang terkendali (managed float).
Namun, pengalaman di pelbagai negara menunjukkan sebaliknya: krisis mata uang hanya terjadi pada negara dengan kedua sistem terakhir ini.
Mengapa? Dalam kedua rezim tadi, nilai tukar tidak lagi menggambarkan kondisi perekonomian, melainkan pilihan kebijakan pemerintahnya. Yang biasanya terjadi, pemerintah cenderung mengatur nilai tukarnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan penilaian pasar.
Jika nilai tukar yang terlalu tinggi disadari spekulan, mereka akan mulai menjajal dan menyerang mata uang tadi. Serangan tersebut akan mengikis cadangan devisa. Jika serangan semakin gencar, sulit untuk mempertahankan nilai tukar.
Otoritas moneter di negara maju pun, seperti Inggris pada 1992, akan menyerah. Jika cadangan devisa telah habis, atau otoritas moneter menyerah, serangan lanjutan akan berakhir dengan anjloknya nilai tukar. Serangan hanya akan berhenti ketika para spekulan beranggapan nilai tukar sudah mencapai nilai yang 'seharusnya'.
Inilah sebabnya dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, dengan cadangan devisa yang tipis, sistem nilai tukar yang mengandalkan otoritas moneter justru lebih rentan.
Maka, salah satu perbedaan inti sistem nilai tukar mengambang dan sistem lainnya yang lebih terkendali terdapat pada proses terjadinya penyesuaian jika terjadi external shocks. Pada sistem mengambang, penyesuaian terjadi secara gradual, perlahan; sedangkan pada rezim lainnya, penyesuaian terjadi secara mendadak. Selain itu, sistem mengambang melatih pelaku ekonomi memperhitungkan nilai tukar sebagai faktor ketidakpastian - tidak demikian dalam sistem lainnya.
Krisis pada tahun 1997 mengajarkan kita betapa besarnya biaya dari penyesuaian yang mendadak. Efek domino yang terjadi karena nilai tukar tiba-tiba anjlok dari sekitar Rp. 2.500 per dolarnya, menjadi Rp. 5.000, kemudian Rp. 10.000 dan seterusnya dalam waktu kurang dari setahun, menghentikan roda perekonomian. Dampaknya, tercermin dalam tingkat pertumbuhan, masih kita rasakan sekarang.
Selain itu, sistem nilai tukar mengambang ternyata baik untuk negara berkembang. Menggunakan data dari 183 negara dalam periode 1974-2000, studi empiris Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2003) dalam jurnal the American Economic Review menunjukkan, negara berkembang dengan sistem nilai tukar mengambang cenderung bertumbuh lebih cepat daripada negara berkembang dengan sistem lainnya.*
(27 Mei 2004, Bisnis Indonesia) Dalam tulisan berjudul "Nilai Rupiah yang Bergejolak" (Bisnis, 14 Mei 2004), Kwik Kian Gie menawarkan teori konspirasi yang menghubungkan sistem nilai tukar dan gejolak politik. Menurut dia, sistem nilai tukar mengambang di Indonesia membuka kesempatan pemerasan politik.
Dalam sistem nilai tukar mengambang, siapapun dengan cukup uang - Kwik memperkirakan US$1 miliar sudah lebih dari cukup - akan mampu memanipulasi nilai tukar sekehendak hati.
Karena itu, menurut dia, sang pemilik US$1 miliar bisa memaksa pemerintah melakukan kebijakan sesuai kehendaknya menggunakan ancaman destabilisasi nilai tukar.
Teori konspirasi tadi memang menarik, dan sekilas cukup meyakinkan. Sayangnya, teori itu didasarkan pada analisis yang tidak lengkap - dan tidak tepat -tentang perilaku pelaku pasar menyikapi sistem nilai tukar mengambang.
Tulisan ini menyelisik analisis yang mendasari teori konspirasi tersebut; sedangkan perihal teori konspirasinya, biarlah pembaca sendiri yang memutuskan.
Sinopsis skenario
Berikut sinopsis skenario konspirasi itu. Misalkan saya berniat 'mengerek' nilai tukar rupiah ke tingkat Rp15.000/US$. Untuk mencapai misi ini, saya mulai dengan membeli dolar secara bertahap di atas harga indikatif bank dalam jumlah banyak - senilai US$100 juta, misalnya.
Begitu seluruh rupiah yang khusus saya sediakan untuk ini menjadi dolar, saya jual tukar lagi semuanya menjadi rupiah (dengan nilai yang lebih rendah) dan saya ulang lagi proses tadi.
Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan mampu saya tekan ke tingkat berapapun. Pada akhir proses ini, saya tentu saja akan merugi; namun jika saya memiliki motivasi politik, kerugian ini kecil relatif dengan keuntungan yang bisa saya raih jika, misalnya, pemerintah sekarang tergusur.
Dalam skenarionya ini, Kwik percaya US$1 miliar akan cukup melemahkan rupiah sampai ke tingkat Rp15.000/US$.
Skenario ini menarik, namun tidak lengkap. Masalahnya, asumsinya kurang realistis: bahwa saya pemain tunggal di pasar valas yang mampu menentukan harga. Adalah lebih realistis mengandaikan adanya pemain valas lain. Perubahan kecil ini memutarbalikkan kesimpulan di atas.
Agar lebih konkrit, anggap awalnya nilai aset saya Rp8,5 triliun dan nilai tukar Rp8.500/US$. Untuk memancing nilai rupiah ke atas, saya beli US$100 juta pada Rp9.000, sehingga terjadi lonjakan nilai tukar yang tidak biasa. Sementara, nilai aset saya sekarang tinggal Rp7,6 triliun dan US$100 juta.
Namun, lonjakan yang tidak biasa ini ternyata diawasi juga oleh pengamat valas di tempat lain, negara lain, bahkan benua lain, yang melakukan spekulasi mata uang Asia. Karena sistem nilai tukarnya mengambang, sang pengamat tahu lonjakan tadi bukanlah hasil intervensi pemerintah.
Maka dia pun mencari alasannya - dan menemukan bahwa tidak ada alasan berpikiran negatif tentang prospek ekonomi (dan mata uang) Indonesia. Dari sisi politik maupun kebijakan, semuanya aman-aman saja, bahkan cenderung positif.
Percaya lonjakan itu tidak beralasan, dia pun melihat kesempatan mengambil untung dengan menjual dolar terhadap rupiah. Dalam hal ini, kemungkinan dia tidak sendiri. Pemain valas lain yang melihat fenomena yang sama, akan bereaksi serupa.
Di sini, walaupun dolar yang dijual masing-masing pemain sepersekian dari US$100 juta, jika ini dilakukan oleh banyak pemain, totalnya akan mencapai US$100 juta. Alhasil, nilai tukar rupiah akan kembali menguat dan cenderung kembali ke Rp8.500/US$.
Akibatnya saya merugi: nilai aset turun dari Rp8,5 triliun menjadi Rp8,45 triliun (= Rp. 7,6 triliun + US$100 juta × Rp. 8.500/US$). Bukan itu saja: usaha saya melakukan destabilisasi gagal karena rupiah relatif tidak bergerak. Jika tetap berkeras dengan strategi ini, saya akan jatuh miskin.
Sulit dimanipulasi
Skenario sederhana di atas menunjukkan sulitnya memanipulasi nilai tukar mata uang dalam sistem nilai tukar mengambang. Sebab, dalam sistem nilai tukar ini, ada keterkaitan langsung antara nilai tukar dan (persepsi tentang) kondisi fundamental ekonomi.
Di sinilah muncul sebuah paradoks. Anggapan umum adalah sistem nilai tukar mengambang lebih tidak stabil daripada sistem yang lebih memberikan kontrol bagi otoritas moneter seperti sistem nilai tukar terpatok (fixed) atau sistem mengambang terkendali (managed float).
Namun, pengalaman di pelbagai negara menunjukkan sebaliknya: krisis mata uang hanya terjadi pada negara dengan kedua sistem terakhir ini.
Mengapa? Dalam kedua rezim tadi, nilai tukar tidak lagi menggambarkan kondisi perekonomian, melainkan pilihan kebijakan pemerintahnya. Yang biasanya terjadi, pemerintah cenderung mengatur nilai tukarnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan penilaian pasar.
Jika nilai tukar yang terlalu tinggi disadari spekulan, mereka akan mulai menjajal dan menyerang mata uang tadi. Serangan tersebut akan mengikis cadangan devisa. Jika serangan semakin gencar, sulit untuk mempertahankan nilai tukar.
Otoritas moneter di negara maju pun, seperti Inggris pada 1992, akan menyerah. Jika cadangan devisa telah habis, atau otoritas moneter menyerah, serangan lanjutan akan berakhir dengan anjloknya nilai tukar. Serangan hanya akan berhenti ketika para spekulan beranggapan nilai tukar sudah mencapai nilai yang 'seharusnya'.
Inilah sebabnya dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, dengan cadangan devisa yang tipis, sistem nilai tukar yang mengandalkan otoritas moneter justru lebih rentan.
Maka, salah satu perbedaan inti sistem nilai tukar mengambang dan sistem lainnya yang lebih terkendali terdapat pada proses terjadinya penyesuaian jika terjadi external shocks. Pada sistem mengambang, penyesuaian terjadi secara gradual, perlahan; sedangkan pada rezim lainnya, penyesuaian terjadi secara mendadak. Selain itu, sistem mengambang melatih pelaku ekonomi memperhitungkan nilai tukar sebagai faktor ketidakpastian - tidak demikian dalam sistem lainnya.
Krisis pada tahun 1997 mengajarkan kita betapa besarnya biaya dari penyesuaian yang mendadak. Efek domino yang terjadi karena nilai tukar tiba-tiba anjlok dari sekitar Rp. 2.500 per dolarnya, menjadi Rp. 5.000, kemudian Rp. 10.000 dan seterusnya dalam waktu kurang dari setahun, menghentikan roda perekonomian. Dampaknya, tercermin dalam tingkat pertumbuhan, masih kita rasakan sekarang.
Selain itu, sistem nilai tukar mengambang ternyata baik untuk negara berkembang. Menggunakan data dari 183 negara dalam periode 1974-2000, studi empiris Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2003) dalam jurnal the American Economic Review menunjukkan, negara berkembang dengan sistem nilai tukar mengambang cenderung bertumbuh lebih cepat daripada negara berkembang dengan sistem lainnya.*
*Dua paragraf terakhir ini disunting oleh redaksi Bisnis Indonesia
0 Comments:
Post a Comment
<< Home