Indonesia | Economics

Thursday, July 01, 2004

Belajar dari 'blunder' IMF

Tulisan ini adalah respons terhadap reaksi anti-IMF menyusul pernyataan seorang konsultan IMF atas penanganan krisis di Indonesia. Niatnya bukan pembelaan atas IMF tetapi agar respons kebijakan terhadap pernyataan (subjektif) tadi tidak kemudian membabi-buta, yang pada akhirnya hanya akan merugikan perekonomian Indonesia.

(1 Juli 2004, Bisnis Indonesia) Setelah sempat menghilang dari sorotan publik, nama Dana Moneter Internasional (IMF) muncul lagi. Kali ini, menyusul 'pengakuan' Stephen Grenville, seorang konsultan untuk Independent Evaluation Office (IEO), bahwa IMF melakukan 'blunder' dalam menangani krisis di Indonesia. IEO adalah lembaga independen bentukan IMF untuk mengevaluasi kinerjanya menangani krisis.

Sayang perdebatan yang kemudian muncul dan berkembang hanyalah berakar dari sekutip pernyataan tentang blunder IMF tadi. Perdebatan tersebut kehilangan nuansa penanganan krisis, yang sebenarnya dipaparkan oleh Grenville, baik dalam dalam jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES, April 2004) yang kemudian dikembangkan menjadi Background Paper untuk IEO

Tulisan ini ingin mengembalikan nuansa tadi. Untuk itu, kita mulai dari sumber perdebatan itu: analisis Grenville tentang peran IMF di awal krisis.

Blunder ala Grenville

Stephen Grenville adalah salah satu konsultan pemberi masukan untuk evaluasi IEO atas kinerja IMF di tiga negara Indonesia, Korea dan Brasil. Laporan evaluasi IEO sendiri sudah terbit sejak pertengahan 2003, sehingga sebenarnya bukanlah barang baru.

Namun kemudian Grenville pribadi membuat analisis untuk menjawab sebuah pertanyaan spesifik tentang peran IMF pada awal penanganan krisis: "Apakah IMF menawarkan nasihat terbaik?"

Jawaban Grenville adalah tidak. Pada tataran teknis, IMF gagal mengidentifikasi problem pada base money yang terlalu ketat sehingga tidak melihat potensi imbasnya terhadap sektor keuangan dan perbankan. Ini menjadi ironi, karena IMF seharusnya adalah pakarnya sektor keuangan dan moneter.

Base money yang terlalu ketat itu sendiri merupakan hasil kebijakan Bank Indonesia (BI) sebelum masuknya IMF. Selain itu, IMF tidak cermat memperkirakan dampak larinya modal yang demikian besar terhadap perekonomian Indonesia. (Ada pengamat mengambil pernyataan Grenville sebagai pernyataan resmi IEO. Ini tidak tepat: dalam Background Paper-nya, terdapat wanti-wanti tulisan tersebut adalah pendapat pribadi, bukan pendapat IEO ataupun IMF.)

Namun, pelajaran berharga terpenting bagi IMF adalah perlunya sang penasihat kebijakan bersikap lebih terbuka dan fleksibel terhadap pilihan kebijakan. Sikap kaku dan arogan yang dikesankannya pada awal menyebabkan IMF kehilangan kepercayaan mantan presiden Soeharto. Alhasil, implementasi program IMF sering tersendat oleh pelbagai gesekan antarkeduanya.

Terlepas catatan di atas, Grenville tidaklah mengklaim seandainya IMF menyadari kesalahannya, krisis dapat dihindari atau tak separah yang terjadi. Kritiknya hanya menunjukkan bahwa ada alternatif kebijakan yang lebih baik daripada resep IMF pada penanganan awal krisis - walaupun Grenville sendiri mengakui, dalam konteks krisis politik ketika itu, mungkin alternatif yang lebih baik ini pun belum tentu efektif.

Merespons Grenville

Menyusul kemunculannya, komentar Grenville langsung bersambut. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kwik Kian Gie, kontan mengusulkan dilunasinya utang kepada IMF agar pemerintah dapat segera keluar dari Post-Program Monitoring (PPM) dan tidak lagi 'dimandori' (Bisnis, 25/5).

Tepatkah respons serupa ini? Ada beberapa pertimbangan. Pertama, kritik Grenville adalah perihal penanganan awal krisis oleh IMF pada periode 1997-98. Sejak periode itu, IMF telah memperbaiki cara penanganan krisisnya dan, diakui atau tidak, telah memberikan sumbangan berarti bagi stabilitas ekonomi makro tiga tahun terakhir.

Seandainya pun program awal IMF adalah sebuah blunder, ini tak tepat menggambarkan programnya tiga tahun terakhir.

Kedua, PPM berbeda dengan Program IMF antara 1997-2003. Mengambil analogi sepakbola, kalau peran IMF dalam Program IMF 1997-2003 adalah bak pelatih sepakbola untuk mengatur arah permainan perekonomian Indonesia, maka dalam PPM, IMF adalah komentator di balkon reporter, yang melaporkan terjadinya pertandingan dengan intervensi yang minim. Dalam PPM, pemerintahlah sang pelatih yang mengatur arah permainan.

Ketiga, tentang pengembalian utang. Tidak jelas sebenarnya manfaat terburu-buru mengembalikan sekitar US$9 miliar kepada IMF dari cadangan devisa. Bunga utang kepada IMF itu relatif ringan dan dengan pengelolaan yang baik, Bank Indonesia justru bisa mendapatkan pengembalian yang lebih tinggi daripada bunga yang harus dibayarkan.

Alasan lain yang dikemukakan Kwik adalah bahwa pelunasan membuka kemungkinan negosiasi penjadwalan utang dengan anggota Paris Club. Ini jelas salah kaprah: aturan Paris Club menyatakan bahwa, dalam praktiknya, negosiasi utang hanya dilakukan dengan negara yang berada dalam Program IMF.

Di lain pihak, hilangnya US$9 miliar dari cadangan devisa bukannya tanpa risiko. Tidak mudah menetapkan posisi cadangan devisa yang 'aman' untuk Indonesia saat ini karena ketidakstabilan internal (risiko politik pemilu, misalnya) maupun eksternal (seperti kenaikan harga minyak, melambatnya ekonomi Cina) dapat tiba-tiba muncul untuk mengikisnya. Selain itu, cadangan devisa yang lebih besar dibutuhkan agar BI dapat menghadapi gejolak nilai tukar bila diperlukan.

Di luar pertimbangan pragmatis, ada satu hal lagi. Merespons pernyataan blunder IMF dengan sikap 'putus hubungan' mengesankan bahwa tanggung jawab krisis sepenuhnya dapat dibebankan pada IMF.

Di sini, peringatan Grenville di awal tulisannya patut dicamkan: "...[A]ny comprehensive analysis of the Indonesian crisis would lay most of the blame for its severity on the Indonesian side...[I]t is always the prime responsibility of the domestic authorities to get policy right, and the presence of the [IMF] does not diminish this responsibility." (BIES, h. 77-8).

Atau, pendeknya, pemerintahlah yang terutama bertanggung jawab atas krisis. Jika kemudian resep awal IMF dianggap salah, respons yang tepat adalah mencari cara agar di masa depan tim ekonomi pemerintah dapat menyaring dan membedakan antara resep yang tepat dan tidak; bukan dengan aksi simbolis memutus hubungan yang justru hanya akan meningkatkan kerentanan perekonomian Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home