Distribusi BLT, metode survei, dan data kemiskinan
Langkah pertama keluar dari masalah adalah dengan mengakui adanya masalah. Pelbagai masalah di balik distribusi bantuan langsung tunai (BLT), misalnya, hanya bisa dituntaskan jika masalah tersebut diakui dan sumbernya diidentifikasi secara sistematis. Namun, satu sumber masalah yang mungkin paling bertanggung atas kekacauan distribusi BLT sudah jelas, yakni masalah pendataan rumah tangga miskin.
Ada banyak “versi” tentang penyebab masalah ini. Badan Pusat Statistik (BPS) pusat menyalahkan ketidakjujuran para petugas lapangan. Sementara, dalam “Data Kemiskinan dan Survei” (Kompas, 29/11), Ivanovich Agusta lebih jauh menyalahkan metode survei, yang dianalogikannya sebagai “penyakit” yang perlu disembuhkan dengan metode partisipatif.
Kekacauan distribusi BLT memang berakar dari proses pendataan penduduk miskin yang tidak tepat. Namun, akar masalahnya bukan terletak pada pilihan metode pendataan – antara survei dan partisipatif. Masalah pendataan BLT lebih disebabkan karena diabaikannya prinsip ekonomi paling mendasar dan penting, yakni bahwa orang meresponi insentif.
Insentif bernama BLT
Harian Kompas, pada 23 Juli 2005, memberitakan pencairan dana Rp. 50 miliar untuk dipergunakan BPS mempersiapkan sensus (atau survei) penduduk miskin yang hasilnya “akan menjadi dasar bagi pemerintah untuk melaksanakan subsidi BBM secara langsung”. BPS diminta menyediakan data akurat dan lengkap tentang rumah tangga miskin Indonesia yang berhak atas uang bantuan pemerintah dalam waktu tiga bulan.
Terlepas dari masalah logistik dan waktu, permintaan pemerintah ini sulit, jika bukannya tidak mungkin, dipenuhi. Mengapa? Iming-iming “uang gratis” BLT membuat pendataan akurat tidak mungkin dilakukan.
Mari kita telusuri proses tersebut. Untuk memenuhi permintaan ini, BPS pusat pada intinya harus bertanya kepada para “informan” lapangan – yakni para petugas lapangan, Ketua RT dan RW, kepala desa, lurah, ataupun bahkan rumah tangga miskin itu sendiri – tentang siapa orang miskin di daerah mereka.
Masalahnya, para informan tahu, jawaban mereka menentukan apakah mereka akan menerima Rp.100.000 setiap bulan – setidaknya untuk setahun ke depan hingga survei kedua. Selain itu, tak ada ancaman hukuman pidana bagi informasi yang tidak akurat. Dengan demikian, BLT menjadi insentif bagi para informan untuk memberikan informasi yang tidak akurat tentang status miskin rumah tangga mereka.
Insentif ini tidak serta merta berarti seluruh informan akan berbohong. Banyak informan tetap jujur atas dasar prinsip etika meskipun ada “godaan” BLT. Namun, umumnya orang meresponi insentif – dan penghasilan tambahan sejumlah Rp.1,2 juta setahun adalah insentif kuat untuk menjadi tidak jujur. Maka, tak usah heran jika hasil survei menunjukkan jumlah rumah tangga miskin yang melonjak tak karuan.
Apakah metode partisipatif akan bisa memberikan data yang lebih akurat? Agaknya tidak juga. Komunitas pun menghadapi godaan yang sama dengan yang dihadapi para informan di atas, karena semakin banyak jumlah orang miskin yang teridentifikasi, semakin banyak uang yang diperoleh komunitas tersebut (terlepas dari bagaimana nantinya uang itu akan dibagikan di antara mereka).
Komplemen, bukan substitusi
Karena itu, kesimpulan bahwa metode survei adalah “penyakit” dan metode partisipatif “obat mujarab” atas dasar kasus distribusi BLT semata adalah gegabah. Pada kenyataannya, kedua metode ini tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya sendiri. Justru keduanya dapat saling mengisi.
Pada kondisi normal – yakni, tanpa adanya insentif untuk tidak jujur di atas – metode survei rumah tangga cukup ampuh mengumpulkan data baku yang dapat dibandingkan lintas ruang dan waktu. Data dari sumber-sumber seperti Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun dapat diolah untuk memberikan gambaran umum yang relatif tepat tentang distribusi geografis penduduk miskin serta kondisi sosial ekonomi lainnya.
Gambaran umum berdasarkan data yang seragam yang dapat diperbandingkan ini bisa menjadi dasar bagi pemerintah pusat menentukan alokasi besaran bantuan untuk program anti-kemiskinan di daerah. Pada implementasinya di daerah, penentuan siapa yang berhak menerima bantuan tersebut (atau, siapa yang miskin) bisa dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah daerah.
Namun, setidaknya ada tiga catatan tentang metode partisipatif. Pertama, kualitas informasi ditentukan oleh ada-tidaknya insentif untuk memberikan informasi yang akurat. Di sini, “insentif” tidak mesti berbentuk uang: ketakutan pada “hukuman sosial” (seperti pandangan negatif masyarakat), misalnya, adalah satu bentuk insentif yang kuat, terutama bagi masyarakat pedesaan yang kuat modal sosialnya.
Efektivitas metode partisipatif ditentukan oleh seberapa jauh hukuman sosial adalah insentif yang cukup kuat untuk mencegah ketidakjujuran. Karena itu, metode ini belum tentu cocok untuk semua daerah di Indonesia. Untuk komunitas urban, misalnya, hukuman sosial mungkin tidak efektif, sehingga data yang didapat tidak juga akurat.
Kedua, bahaya local capture. Ancaman local capture muncul ketika ada tokoh-tokoh dan elite lokal yang punya pengaruh terlalu besar dalam sebuah komunitas lokal. Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee (2000) menunjukkan bahwa ketika masalah local capture cukup serius, sistem terdesentralisasi – seperti pula sistem pendataan partisipatif – tidak optimal. Dengan local capture, data yang muncul dari metode partisipatif akan cenderung berpihak terhadap kerabat serta kroni para elite lokal.
Ketiga, masalah waktu dan biaya. Realitas lapangan menunjukkan, kegiatan fasilitasi dalam metode partisipatif tidaklah mudah. Butuh keahlian khusus untuk bisa menjadi fasilitator yang baik: Jauh lebih mudah (dan murah) melatih pencacah survei daripada fasilitator yang baik. Selain itu, dibandingkan survei, kegiatan fasilitasi butuh persiapan yang jauh lebih rumit dan biaya yang mahal. Karena itulah, keputusan menggunakan metode partisipatif pada skala besar perlu didasarkan pada perhitungan yang matang.
1 Comments:
Trims for share inform...
saya sementara research buat orang miskin di Indonesia, khususnya Jakarta dan bekasi..
memang agak sulit untuk mendapatkan data yang akurat.. tetapi intinya harus turun langsung ke lapangan dan melihat dengan fakta lapangan. kalau menggunakan secondary data.,mungkin tidak akan akurat.. dan malah menjadi penipuan..
regards,
reinmer
By Seorang yang ingin belajar, at 11/04/2010 11:28:00 pm
Post a Comment
<< Home