Indonesia | Economics

Sunday, November 20, 2005

Cyrillus Harinowo: Tentang suku bunga

Baru-baru ini seorang teman bertanya pada saya tentang inflasi. Daripada mengulang yang sudah ada (dan sangat baik), lebih baik saya biarkan pakarnya berkomentar. Berikut, Cyrillus Harinowo dalam Kompas, 10 November lalu.

Menimbang Arah Suku Bunga
Cyrillus Harinowo

Perekonomian Indonesia seakan menghadapi babak baru setelah diumumkannya inflasi Oktober 2005. Inflasi yang secara year on year mencapai 17,89 persen itu memicu perdebatan tentang suku bunga.

Bank Indonesia (BI) sudah melakukan langkah pre-emptive yang cukup bijak dengan menaikkan suku bunga BI Rate menjadi 12,25 persen, dengan melakukan kenaikan tertinggi sebesar 125 basis points.

Kenaikan itu baru akan terwujud dalam bentuk perubahan suku bunga saat hari pertama kerja sesudah libur Lebaran, yaitu saat dilakukan lelang SBI hari Rabu, 9 November 2005.

Sebagaimana pengalaman sebelumnya, hasil lelang SBI akan menghasilkan tingkat bunga yang tak terlalu berbeda dari BI Rate.

Yang menjadi perdebatan kemudian, langkah apa lagi yang harus dilakukan pemerintah dan BI untuk menghadapi perkembangan terakhir ini. Harian Kompas beberapa waktu lalu memuat artikel berisi desakan agar BI Rate dinaikkan lebih tinggi lagi guna ”mengimbangi inflasi akhir tahun yang bisa mencapai 16 persen”. Artikel itu cukup provokatif sehingga bukan tidak mungkin akan memancing perdebatan lebih lanjut.

”One shot inflation”

Pada hari yang sama, harian Kompas juga memuat pernyataan Jusuf Kalla yang mengatakan, inflasi yang terjadi saat ini lebih banyak diwarnai inflasi yang terjadi sekali saja, atau diistilahkan one shot inflation.

Meski tetap pahit, pernyataan Kalla itu memiliki kebenaran. Inflasi bulan Oktober sebesar 8,75 persen lebih banyak disumbang oleh kenaikan harga BBM sebesar 3,47 persen dan kenaikan tarif transportasi sebesar 2,08 persen.

Kedua faktor itu telah menyumbang 5,55 persen. Selebihnya, yaitu 3,20 persen, disumbangkan oleh kenaikan harga barang-barang lain, karena Lebaran secara tradisional merupakan siklus naik dari tingkat inflasi.

Selain itu, kenaikan harga barang-barang lain juga didorong kontribusi kenaikan tarif transportasi untuk barang-barang atau sering disebut biaya distribusi.

Tekanan kenaikan harga pada bulan-bulan mendatang tentu masih akan ada meski dalam skala relatif lebih kecil. Yang mungkin agak besar adalah penyesuaian tarif listrik. Untuk bidang terakhir ini, pemerintah diharapkan cukup bijak menanganinya, karena inflasi yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli bagi pendapatan yang tidak berubah.

Maka, pada bulan November dan Desember 2005 ini diharapkan inflasi bulanan tidak melebihi bulan yang sama tahun 2004. Jika itu terjadi, inflasi tahun 2005 secara keseluruhan diharapkan akan berada di bawah 17,89 persen.

Meski demikian, inflasi yang sudah terjadi dengan yang akan terjadi tentu berbeda. Inflasi yang sudah terjadi memang amat tinggi dalam ukuran perekonomian empat tahun terakhir ini. Dan angka itu secara statistik masih akan ”bersama” kita hingga bulan September 2006.

Jika angka inflasi bulanan Oktober 2006 mendatang rendah, maka secara mendadak akan terjadi penurunan inflasi secara year on year pada Oktober 2006 mendatang. Karena itulah Bank Indonesia meyakini, inflasi pada akhir 2006 akan berada pada level 7-8 persen.

Sementara itu, pergerakan harga yang akan terjadi akan lebih terkonsentrasi pada penyesuaian harga barang sebagai second round impact kenaikan harga BBM yang lalu. Proses ini akan berhadapan dengan kenyataan lapangan, yaitu melemahnya permintaan karena menurunnya daya beli.

Karena itu, hasil akhir pergerakan inflasi diharapkan tidak terlalu tinggi lagi sehingga tidak perlu berakhir pada keadaan yang mengkhawatirkan. Pergerakan inflasi ke depan sebetulnya memiliki kemiripan dengan inflasi inti yang dikembangkan Bank Indonesia yang dewasa ini masih berada pada tingkat 7-8 persen.

Kebijakan suku bunga

Dengan latar belakang semacam itu, ”memerangi” inflasi dengan menaikkan suku bunga setinggi-tingginya bukan tidak mungkin justru akan menjadi kontraproduktif.

Inflasi yang tinggi sudah terjadi, sudah lewat, sedangkan tekanan inflasi berikutnya rasanya akan menjadi lebih lemah. Karena itu, yang perlu dicermati justru dampak inflasi dan kenaikan suku bunga tersebut pada perekonomian secara keseluruhan.

Kenaikan inflasi yang diumumkan pekan lalu memang membuat kita semua terkejut (meski sebetulnya sebagian terbesar sudah bisa dihitung sebelumnya). Langkah yang diambil BI dengan menaikkan BI Rate rasanya amat tepat dilakukan dalam keadaan demikian.

Libur Lebaran sesudahnya, tanpa sempat mewujudkan kenaikan BI Rate dalam tingkat bunga SBI, juga ikut memberi ruang untuk mencerna perkembangan terakhir dengan lebih baik.

Karena itu, kenaikan suku bunga SBI pekan ini diharapkan dapat mengisi kevakuman yang ada sekaligus dapat memuaskan.

Suku bunga 12,25 persen pada hakikatnya sudah lebih tinggi dibanding inflasi inti 7-8 persen. Kita tidak perlu membandingkannya lagi dengan inflasi sebesar 17,89 persen (atau yang sering disebut head line inflation) karena yang harus dipandang adalah tekanan ke depan.

Memang mungkin ada unsur ketidakadilan di sini, karena para pemilik dana di perbankan seakan dirugikan karena nilai dana mereka menurun. Namun, keadaan semacam ini akan terkompensasi lagi ke depan dengan suku bunga yang jauh lebih tinggi dibanding di luar negeri.

Sementara itu, untuk ”memerangi” inflasi, pandangan Bank Indonesia mestinya lebih ke depan, lebih forward looking.

Dua masalah

Dengan latar belakang itu, seyogianya Bank Indonesia tidak melakukan kebijakan penaikan bunga secara membabi buta. Karena kenaikan suku bunga yang terlalu tinggi tidak akan memecahkan masalah (karena sebagian masalahnya sendiri sudah lewat), justru akan menimbulkan masalah baru.

Ada dua masalah yang akan menghadang kita.

Pertama, menurunnya daya beli masyarakat yang pada hakikatnya merupakan bagian terbesar dari permintaan perekonomian kita, yaitu sekitar 70 sampai 80 persen dari PDB. Jika ini melemah, pertumbuhan ekonomi akan mandek. Akan mungkin terjadi stagnasi. Melambatnya sektor konsumsi ini harus dikompensasi dengan kenaikan investasi, dan itu berasal dari dunia usaha. Jika suku bunga menjadi terlalu tinggi, pengusaha yang akan melakukan investasi akan berpikir seribu kali.

Kedua, ancaman munculnya kredit macet. Ancaman ini sungguh tidak dapat disepelekan karena pengalaman kita selama krisis yang lalu.

Dengan melihat pengalaman itu yang diperlukan adalah menghindari terjadinya kemandekan ekonomi secara mendadak yang sering disebut crash landing.

Hanya saja dilemanya adalah bagaimana stabilitas makro dapat tetap terjaga. Ini bukan sesuatu hal yang mudah. Karena itu, untuk menghindarkan kemandekan semacam itu, Bank Indonesia perlu secara bertahap dan terukur melonggarkan kebijakan moneter ketat yang ada dengan mengurangi GWM ekstra yang lalu, namun tetap menjaga suku bunga memadai guna menjaga stabilitas, meski jangan sampai menjadi over kill.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home