Indonesia | Economics

Friday, July 29, 2005

Teguh Yudo Wicaksono: Menggagas kapitalisme di Indonesia

Yang jarang dilihat di Indonesia: Sikap tegas mendukung kapitalisme dari salah satu (calon?) ekonom muda Indonesia

(Bisnis Indonesia, 29 Juli 2005) Dulu Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pernah angkat bicara tentang ide modernitas sebagai jalan menuju budaya dan masyarakat baru Indonesia. Dalam suatu Kongres Pendidikan Nasional pada 1935.

STA berteriak lantang dengan slogan-slogan "Kesadaran tentang individualisme harus dibangkitkan" atau "Bangsa Indonesia harus didorong untuk menumpuk kekayaan material sebanyak mungkin" (Ayu Ratih, Reconsidering the 'Great Debate' on Indonesian National Culture in 1935-1942). Saya beranggapan STA adalah tokoh liberal yang amat radikal. Setidaknya dengan memperhatikan realitas masyarakat masa itu yang tidak begitu paham arti "materialisme ekonomi" dan "modernisasi". Ditambah juga dengan masih hinggapnya alam mitos di banyak pikiran manusia Indonesia.

Namun dalam situasi sekarang ini pun, diskursus tentang materialisme ekonomi dan rasionalitas (baca: kapitalisme) masih mengundang perdebatan hangat. Wacana kapitalisme masih saja dilirik dengan penuh curiga dan alergi karena gagasan itu dianggap berasal dari dunia yang "bukan" kita--suatu perdebatan lampau yang tak kunjung selesai. Di sisi lain, dalam nuansa yang lebih ideologis, diskursus kapitalisme diasosiasikan dengan jargon-jargon individualisme, liberalisme dan laissez-faire.

Lepas dari perdebatan yang filosofis, banyak ide-ide dasar kapitalisme yang dapat diartikulasikan secara pragmatis. Kapitalisme secara pragmatis juga ide tentang hak atas kepemilikan individu, rasionalitas dan ekonomi pasar. Tiga ide ini yang mestinya kembali digagas untuk Indonesia.

Zaman sekarang sudah pasti beda dengan masa STA dulu. Kini mitos bahwa kemiskinan tidak akan pernah dapat diakhiri pada zaman kita telah memenuhi ruang pikiran setiap orang. Mitos ini telah menghilangkan banyak harapan. Sejumlah pihak menuduh kapitalisme sebagai biang keladi situasi ini. Tetapi saya melihat justru sebaliknya. Ketiadaan prinsip-prinsip dasar kapitalisme yang telah memiskinkan masyarakat kita.

Mengapa demikian? Dalam suatu pidato yang berjudul "Bringing Capitalism to the Masses" (2004), Hernando de Soto menunjukkan bahwa di Meksiko hampir sekitar 80% penduduknya melakukan aktivitas ekonomi di sektor informal. Nilai aset usaha yang mereka miliki bernilai sekitar US$315 miliar, dimana setara dengan tujuh kali nilai cadangan minyak mereka.

Di Mesir, orang-orang semacam ini memiliki aset yang bernilai US$248 milliar atau setara dengan 70 kali bantuan bilateral yang telah mereka terima selama ini. Saya rasa kenyataan ini terjadi pula di Indonesia

Semua aset-aset itu digerakkan oleh usahawan-usahawan kecil dengan prinsip-prinsip yang kapitalistis. Aktivitas usaha mereka tanpa perlindungan maupun pertolongan negara sama sekali. Bagi mereka kompetisi adalah hal yang wajar dan tidak perlu menjadi ketakutan seperti para usahawan dengan aset besar itu. Mereka pun cukup fleksibel dan berani mengambil risiko untuk berpindah dari satu bentuk usaha ke usaha yang lain.

Persoalannya, mengapa mereka yang memiliki aset ekonomi berharga dan dapat dimanfaatkan untuk menggerakan perekonomian nasional harus melakukan aktivitas secara informal? Parahnya lagi hak atas kepemilikan aset mereka tidak dijamin oleh hukum. Padahal kita paham bahwa bagi mereka sebidang kecil tanah maupun tempat usaha dimiliki itu amatlah berharga.

Hak atas kepemilikan merupakan hal penting dalam masyarakat. Hak-hak ini terbentuk sebagai hasil konsensus di tingkat bawah dan masyarakat kita telah mengenalnya sejak lama. Dalam sistem hukum kita, ada yang dikenal dengan hukum kepemilikan berdasarkan adat. Sementara bila dilihat jauh ke belakang, nusantara merupakan kepulauan yang sibuk sebagai jalur perdagangan.

Perdagangan hanya berangkat dari kepercayaan, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Untuk itu pengakuan atas hak kepemilikan selalu ditemui dalam masyarakat dagang (commerce society).

Dalam sistem negara modern, pengakuan negara atas hak kepemilikan dan perlindungan terhadapnya menjadi keharusan. Tanpa jaminan hukum atas hak kepemilikan, setiap individu dapat menjadi korban birokrasi yang korup, politisi dan aksi premanisme dari orang-orang yang menikmati rente tanpa usaha.

Berangkat dari realitas ini, segala hak kepemilikan pribadi, berapa pun jumlah dan bentuknya, harus dijamin oleh hukum dan negara. Langkah praktis untuk ini, salah satunya, adalah dengan memudahkan pemberian status hukum, memperpendek prosedur dan memberantas pungutan untuk pengurusan izin usaha.

Dengan jaminan dan penegakan hukum atas aset ekonomi mereka, para usahawan kecil itu akan terlindungi dari aktivitas rente dan praktik bisnis yang tidak sehat. Selain itu mereka juga berpotensi mendapatkan akses terhadap pasar kredit dan memungkinkan untuk ekspansi usaha.

Selain pengakuan hak kepemilikan, kapitalisme juga bicara tentang rasionalitas. Pembagian kerja dan kalkulasi biaya merupakan rasionalisasi atas sistem produksi. Rasionalisasi ini yang mendorong tingginya produktivitas dan menjadi kunci keberhasilan negara-negara maju saat ini. Tentu tidak ada pelaku usaha yang tidak rasional dalam menggerakkan bisnisnya. Akan tetapi yang seringkali ditemui justru pemerintah yang tidak rasional dalam kebijakannya.

Abaikan persoalan

Sebut saja kebijakan subsidi suku bunga untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Harus dihargai niat baik pemerintah untuk mendorong sektor UKM melalui instrumen kebijakan ini. Tetapi disini pemerintah mengabaikan akar persoalan yang terjadi. Dalam banyak temuan, suku bunga bukanlah permasalahan besar bagi usaha kecil dalam akses kredit.

Namun ketiadaan pengakuan hukum atas usaha mereka yang menjadi kendala mendapatkan kredit. Tanpa jaminan hukum usaha, mereka tidak dapat menggunakan aset mereka sebagai kolateral kredit. Sementara dalam kebijakan ini, pemerintah cenderung merusak pasar kredit yang selama ini telah terbangun antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan sektor UKM dan informal.

Terakhir, ide tentang kapitalisme juga ide tentang ekonomi pasar. Seperti yang diungkapkan de Soto, selama ini kita menyangka, termasuk juga negara donor, bahwa ketiadaan fasilitas publik, seperti infrastruktur merupakan penghambat utama perekonomian di negara berkembang. Itu memang benar, akan tetapi ternyata yang jauh lebih dibutuhkan sebetulnya adalah landasan institusi ekonomi pasar.

Apa yang dikehendaki dalam sistem ekonomi pasar kini bukanlah peran negara yang minimal. Namun intervensi negara dalam ekonomi hendaknya tidak merusak insentif yang sudah ada.

Kita butuh jalan pintas untuk mematahkan mitos tentang kemiskinan. Jalan itu harapan tentang kehidupan, kebebasan dan kepemilikan. Semuanya itu harapan banyak orang, termasuk juga orang miskin. Hanya dengan sistem ekonomi yang ramah terhadap pasar, jalan itu terbuka lebar.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home