Indonesia | Economics

Saturday, December 03, 2005

Resensi buku: Menelusuri setengah abad pemikiran ekonomi Indonesia

Menyambut ulang tahunnya ke 50, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menerbitkan satu set antologi - lima buku, seratus tujuh puluh enam tulisan, dari seratus dua penulis, dalam lebih dari dua ribu halaman - yang merangkum pemikiran-pemikiran penting tentang perekonomian Indonesia dalam setengah abad terakhir. Resensi ini dimuat di Kompas, 4/12.


Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (5 Buku). Hadi Soesastro, Aida Budiman, Ninasapti Tiraswati, Armida Alisjahbana dan Sri Adiningsih (penyunting), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005, 2335 halaman.


(, 4 Desember 2005) SEJARAH, menurut filsuf Perancis, Etienne Gilson, merupakan satu-satunya laboratorium yang kita miliki untuk menguji akibat-akibat pemikiran. Dalam set buku ”Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir” ini, pemikiran 102 intelektual Indonesia dirangkum untuk melengkapi gambaran tentang ”laboratorium sosial” bernama perekonomian Indonesia.

Kumpulan tulisan atau antologi ini menelusuri wacana tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. Seratus tujuh puluh enam tulisan dalam lebih dari dua ribu tiga ratus halaman dikelompokkan menjadi lima buku, masing-masing menggambarkan satu ”zaman” atau periode dalam pemikiran ekonomi Indonesia.

Buku pertama, yang dimulai dengan cuplikan risalah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tentang perekonomian Indonesia merdeka, mencakup tulisan tentang periode menjelang masa Ekonomi Terpimpin pada tahun 1959. Ini dilanjutkan dalam Buku Kedua, yang mencakup pemikiran semasa dan tentang periode Ekonomi Terpimpin.

Buku ketiga dan keempat mencakup periode Orde Baru hingga sebelum krisis. Tahun 1982, tepat di tengah-tengah awal dan akhir Orde Baru, dipilih untuk membagi dua zaman tersebut. Tapi tentunya posisi tengah bukan alasan utama pembagian ini: Tahun 1982 menandai awal jatuhnya harga minyak dunia, yang mengawali proses deregulasi dan liberalisasi demi menghindari ketergantungan pada penerimaan minyak.

Adapun buku terakhir meliputi periode krisis dan pascakrisis hingga sekarang. Walaupun meliputi periode yang relatif pendek, buku ini relatif tebal— lebih dari 700 halaman ketika yang lainnya tidak sampai 500 halaman—dan lebih didominasi makalah pendek daripada opini.

Dalam setiap buku, tulisan-tulisan tersebut dikelompokkan lebih lanjut ke dalam delapan kelompok tema, mencakup baik hal-hal yang bersifat normatif (Sistem dan Prinsip Dasar), teoretis-kebijakan (Kelembagaan Ekonomi, Persoalan Ekonomi-Politik, Perencanaan Pembangunan, Pengelolaan Ekonomi Makro, Pembangunan Daerah), sektoral (Masalah-masalah Pertanian, Industri dan Perdagangan), serta pembangunan sosial ekonomi.

Ekonomi dan ideologi

Dibaca secara kronologis maupun tematis, antologi ini melukiskan dinamika serta pergeseran wacana tentang pengelolaan perekonomian. Pada periode awal, wacana tersebut didominasi diskusi-diskusi abstrak dan normatif yang bermain pada tema-tema besar dan sedikit pada kebijakan yang konkret. Sejalan dengan waktu, masalah-masalah kebijakan konkret mulai muncul dan menjadi topik perdebatan yang hangat. Jika dibaca secara utuh—dan lebih baik lagi jika didampingi literatur sejarah perekonomian Indonesia— akan tersaji benang merah ”pemikiran” dan ”akibat-akibatnya” yang dimaksud Etienne Gilson di atas.

Ilustrasi paling gamblang tentang benang merah ini dapat dilihat dalam periode gelap sejarah ekonomi Indonesia: masa Ekonomi Terpimpin. Keputusan Presiden Soekarno menolak liberalisme pada Agustus 1959 memberikan negara peranan sentral dalam ekonomi dan menciptakan apa yang disebut ekonom Frans Seda sebagai ”etatisme yang merajalela”. Kala itu pengelolaan ekonomi dipandu oleh dokumen-dokumen yang ”bukan saja tidak realistis, tetapi sangat fantastis ... [yang secara] ekonomis ... dari awalnya sudah gagal” (Buku Kedua, halaman 33).

Politik revolusioner, bukannya rasionalitas ekonomi, menjadi panglima. Hasilnya? Mengutip pengamatan Aida Budiman dan Hadi Soesastro dalam pengantar Buku Kedua: ”Periode Ekonomi Terpimpin ini ditandai oleh merosotnya pendapatan (PDB) per kepala, meningkatnya inflasi, surutnya penanaman modal dan berlanjutnya structural regression. Semua ini disebabkan oleh hilangnya kendali fiskal” (hal 15).

Benang merah dalam buku ini ternyata muncul bukan saja dalam segi tiga pemikiran-kebijakan-kinerja ekonomi dalam satu periode, melainkan juga lintas waktu. Ini bisa dilihat jika kelima buku ini dibaca secara utuh maupun secara tematis. Sering kali perdebatan hangat, khususnya yang bersifat normatif, dalam satu zaman tak lepas dari perdebatan periode-periode sebelumnya.

Sebagai ilustrasi wacana lintas waktu ini adalah perdebatan tentang liberalisme dan peran negara (dan swasta) dalam perekonomian. Polemik tersebut sudah ada sejak berdirinya negeri ini dan mengemuka dalam perdebatan Pasal 38 Undang-Undang Dasar Sementara antara Wilopo dan Widjojo Nitisastro (Buku Pertama, hal 60-74). Tulisan Wilopo, yang memulai perdebatan ini, merujuk pada dua segi liberalisme yang merupakan ancaman, yakni ”perkembangan inisiatif swasta dan kekuatan hak milik” (hal 64). Kecurigaan yang sama terus mewarnai wacana intelektual Indonesia dalam periode selanjutnya hingga sekarang. Tulisan para intelektual, seperti Sarbini Sumawinata, Mubyarto, dan Sri-Edi Swasono, tetap kental dengan skeptisisme serupa.

Selain itu, benang merah lintas waktu bukan hanya dapat dilihat pada hal-hal abstrak normatif, tetapi juga pada masalah-masalah kebijakan. Dua masalah pelik kebijakan kontemporer Indonesia—beras dan bensin—ternyata bukan masalah baru: Frans Seda pertama kali menulis tentang dua hal ini pada tahun 1958 dan 1959 (Buku Pertama, hal 157-166).

”Referensi satu atap”

Bisa diperdebatkan memang, apakah semua tulisan yang terpilih dalam antologi sudah mencerminkan pemikiran-pemikiran terpenting dalam zamannya. Dalam kumpulan tulisan era Ekonomi Terpimpin, misalnya, tulisan-tulisan yang muncul adalah tulisan tokoh-tokoh yang relatif lebih ”kanan” atau setidaknya cenderung ke tengah. Pemikiran ekonomi tokoh-tokoh seperti Semaoen dan tokoh-tokoh kiri radikal lainnya tidak mendapat tempat dalam antologi ini.

Terlepas dari kritik ini, jelas bahwa nilai referensi antologi ini tidak perlu diragukan lagi. Dengan mengumpulkan sekian banyak tulisan penting (beberapa di antaranya sudah tak mudah lagi didapatkan), buku ini bagaikan ”referensi satu atap” atau one-stop-shop bagi para peneliti serta sejarawan ekonomi. Perpustakaan tentang perekonomian Indonesia tidaklah lengkap tanpa buku ini.

Namun, lebih jauh lagi, apakah antologi bisa menjadi lebih dari sekadar referensi? Atau, dengan kata lain, sampai seberapa jauhkah antologi ini dapat dinikmati pembaca yang awam sejarah ekonomi? Dalam hal ini, sayangnya, antologi ini belum sesuai dengan harapan. Menangani tulisan-tulisan orang lain, tak banyak memang yang dapat dilakukan penyunting untuk membuatnya lebih menarik. Namun, dengan pengantar yang baik, penyunting dapat memberikan konteks dan meletakkan tulisan-tulisan tersebut dalam perdebatan zamannya. Dengan demikian, tulisan-tulisan tersebut menjadi lebih ”hidup”.

Konteks yang relevan inilah yang gagal dimunculkan. Alhasil, alih-alih terlihat sebagai wacana yang utuh, tulisan-tulisan dalam antologi ini sepintas terkesan berdiri sendiri-sendiri. Memang setiap buku memiliki bab pengantar, namun kualitas bab tersebut beragam, cenderung umum, dan kerap kurang mampu memberikan konteks yang dapat ”menghidupkan”. Selain itu, pengantar tematis absen dari setiap buku dalam antologi ini.

Ini adalah missed opportunity— sesuatu yang amat disayangkan mengingat proyek antologi tentang pemikiran ekonomi yang demikian komprehensif dan masif ini masih amat langka di Indonesia. Semoga akan ada ”edisi yang disempurnakan”, agar salah satu antologi terpenting sejarah pemikiran ekonomi Indonesia ini dapat lebih ”ramah” bagi lebih banyak pembaca.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home