Korupsi dan antrean parkir Istora
Mengomentari entry saya tentang hubungan ketidakpastian gaji dengan kinerja KPK, seorang pengunjung meragukan hubungan antara gaji dengan kinerja. Di Pertamina, misalnya, gaji boleh tinggi tapi mengapa tetap saja orang korupsi? Waktu itu, saya menjawab sekadarnya bahwa banyak yang bergabung dengan Pertamina dengan ekspektasi akan korupsi – namun komentator saya keberatan dengan jawaban ini. Kata dia, banyak yang masuk adalah fresh graduate, masih bersih, “tapi nyemplung dalam sungai yang kotor.”
Komentar ini mengusik saya. Setelah pikir-pikir, saya merasa perlu melengkapi jawaban di atas dengan insight yang saya dapatkan dari pengalaman saya antre membayar parkir keluar dari Istora Senayan kemarin.
Pintu parkir Istora terdiri atas dua jalur: satu untuk masuk, satu lagi keluar, dan di antaranya keduanya tidak terdapat beton pembatas. Usai menengok Pesta Buku, saya melihat jalur pintu parkir yang menuju keluar antre cukup panjang. Supir saya, seorang yang cukup taat azas pun ikut barisan. Namun, sepanjang kami antre, beberapa mobil melaju tanpa hambatan di jalur menuju pintu parkir yang seharusnya untuk masuk.
Insiden ini bisa menjadi analogi untuk mengerti korupsi di institusi seperti Pertamina.
Jika kita analogikan bahwa mereka antre sesuai jalur adalah “tidak korup” sementara yang melawan arah adalah “korup”, kita bisa katakan semua yang melawan arah memang punya motivasi untuk korupsi (baca: melawan arah demi tiba lebih cepat di pintu keluar). Namun, ini mungkin penilaian yang tidak terlalu tepat.
Mengapa? Buat saya, para pengendara beberapa mobil terdepan yang melawan arah memang “korup”. Dengan pandangan jelas ke pintu keluar, mereka tahu pasti bahwa mereka melanggar norma. Namun, setelah mobil ke dua puluh, misalnya, pengendara selanjutnya tidak dapat lagi melihat pintu keluar. Keputusan pengendara mobil keduapuluhsatu dalam memilih antrean kiri (yang “tidak korup”) vs kanan (yang “korup”) dilakukan hanya karena mereka menganggap antrean kanan lebih pendek.
Analogi ini menjelaskan bagaimana fresh graduate bisa ikut tercemplung dalam “sungai kotor” secara "tidak sengaja". Dalam institusi besar seperti Pertamina, aturan tentang prosedur yang benar atau tidak sering kali tidak jelas. Hanya karyawan yang sudah lama bekerja di institusi itu yang mungkin tahu perbedaan antara prosedur yang benar dan salah. Maka, karyawan baru belajar tentang norma institusi dengan mengamati perilaku karyawan-karyawan senior dia.
Ada anggapan bahwa semua yang korupsi, melakukannya karena niat buruk, sikap serakah, keinginan cepat naik pangkat, dsb. Namun, dari analogi antrean Istora, ada kemungkinan bahwa ada “korupsi” yang terjadi karena karyawan baru tidak mau repot mencari tahu prosedur yang benar, dan kemudian mengambil jalan pintas dengan mengikuti perilaku senior. Pada awalnya, mereka belum bisa melihat “pintu keluar” – yakni prosedur yang seharusnya.
Keinginan mengambil jalan pintas ini tidak salah pada dirinya sendiri– kita semua pun begitu. Meniru perilaku senior pun bukan strategi yang buruk jika masuk ke dalam lingkungan baru. When in Rome, do what the Romans do.
Namun, kalau tidak segera dikoreksi, “prosedur salah” ini menjadi norma yang lazim. Ketika ia sadar bahwa ia salah pun, fakta bahwa tidak ada yang menegur atau menghukum dia membuat dia merasa bahwa tidak ada yang salah dengan perilaku dia. Karena prosedur salah, namun lazim ini, diterima, banyak orang pun mulai melakukannya karena ini lebih menguntungkan. Dalam antrean saya, banyak mobil yang tadinya ikut barisan yang benar pun mulai bergerak ke “jalur yang salah”.
Namun, perlu dicatat bahwa ini hanya berlaku pada “pengendara mobil ke dua puluh satu”. Pengendara mobil pertama hingga keduapuluh “korupsi” dengan kesadaran penuh. Mereka bertanggung jawab menarik banyak orang lainnya. Karena itulah, saya rasa pernyataan bahwa banyak yang masuk institusi seperti Pertamina sudah punya ekspektasi korupsi ini benar, namun kemungkinan hanya berlaku pada mereka yang sudah senior atau yang pindah dari institusi dengan norma serupa ke posisi senior di sana.
Jika benar hipotesis saya ini, korupsi bisa dikurangi dengan transparansi aturan tentang hal-hal yang boleh dan tidak dilakukan dalam institusi. Masalahnya, ini seharusnya dibuat oleh para senior dalam institusi yang sudah menganggap “melanggar jalur” sebagai sesuatu yang lazim. Lagipula, mereka punya insentif untuk membuat aturan tetap kabur, agar ekspektasi akan penghasilan mereka tidak diganggu gugat. (Dan inilah sebabnya, pernyataan Bagir Manan bahwa hakim boleh menerima hadiah patut diberi acungan jari – soal jari yang mana, tergantung sudut pandang Anda)
Namun, satu hal perlu dicatat. Terlepas dari keuntungan yang didapat dari berpindah ke "jalur yang salah" toh, ternyata mayoritas pengendara sabar menunggu di "jalur yang benar". Serupa ini, kemungkinan mayoritas mereka di Pertamina (atau di birokrasi, kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman) adalah orang yang berada pada "jalur yang benar". Maka, analogi "sungai yang kotor" mungkin kurang tepat - jangan sampai karena nila setitik, kita anggap sudah rusak susu sebelanga.
Nila inilah yang perlu kita netralisir. Tak mudah memang. Tapi, siapa bilang memberantas korupsi itu hal mudah?
4 Comments:
Setuju sekali dgn tulisannya.
Memberantas korupsi di Indonesia, menurut saya harus dari atas, mungkin butuh seorang diktator yg benar2x bersih. Masyarakat kita butuh panutan. Walaupun kita di belenggu aturan/hukum, di tatar moral/agama tiap hari tapi tidak ada contoh dari sang senior terutama yg tertinggi, semuanya akan sama saja.
Kalo hanya transparansi aturan2x, yg ada nanti malah bagaimana mengakali aturan ini, seperti yg sudah2x.
By Anonymous, at 7/10/2006 05:42:00 pm
Ngomong diktator bersih, saya terpikir Lee Kuan Yew. Segera setelah terpikir Lee, saya terpikir nepotisme dia menjadikan anak dia Perdana Menteri.
Ada pepatah: Quis custodiet ipsos custodes? Siapa yang akan menjaga si penjaga? Diktator yang bersih sulit bertahan lama untuk a) tetap jadi diktator; atau b) tetap bersih.
By Arya Gaduh, at 7/10/2006 06:17:00 pm
Menurut saya lho,
Lee Kuan Yew memang hebat, dia walaupun nepotisme tapi mentraining anaknya si Lee Hsien Long ini dgn bagus. Kalo di lihat riwayat trainingnya Hsien Long baik dalam bidang pemerintahan, militer maupun akademis adalah sangat bagus. Saya cukup terkesan akan pandangan/pendapat dia waktu melihat interviewnya di tv beberapa tahun lalu.
Siapa yang akan menjaga si penjaga?
Ini petanyaan yg susah, dan saya nggak tahu apa ya jawabannya karena menurut saya demokrasi pun belum tentu mampu menjaga si penjaga.
By Anonymous, at 7/11/2006 08:53:00 am
Proposisi yang harus diuji, memang, adalah apakah Lee Hsien Long adalah yang terbaik untuk Singapura dari sekian banyak bakat yang ada.
Ini adalah salah satu proposisi yang sulit dibuktikan karena untuk itu, kita perlu membandingkan dunia paralel Singapura antara yang dengan atau tanpa Hsien Long. Kalaupun Hsien Long nanti gagal, tidak berarti proposisi ini salah -- mungkin dia semata-mata kurang beruntung saja.
Yang mungkin sedikit lebih gampang ditunjukkan (meskipun bukan dibuktikan) adalah bahwa pola pemerintahan dinastik-kerajaan (dari ayah ke anak dan seterusnya)mungkin tidak efisien, mengingat semakin sedikit negara yang menggunakan pola ini.
Masalah pada sistem diktator tidak terjadi kala kinerjanya baik, tapi ketika kinerjanya buruk. Dan seorang yang jujur belum tentu pandai mengelola negara. Diktator jujur yang buruk mengelola negara sepantasnya diganti, namun kemungkinan akan sulit menerima - sehingga rakyat jadi korban. Contohnya, Julius Nyerere di Tanzania.
By Arya Gaduh, at 7/11/2006 05:41:00 pm
Post a Comment
<< Home