Indonesia | Economics

Wednesday, July 12, 2006

Problem guru-birokrat

Atas permintaan seorang guru SMAN 17 Jakarta, saya menerjemahkan kata-per-kata resensi saya atas buku Indonesian Education yang dimuat di Jakarta Post.


Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy
oleh Christopher Bjork ▪ New York dan London: Routledge, 2005 ▪ xv+185 halaman

Ketika ditanya mengapa Finlandia memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, seorang kepala sekolah konon menjawag: “Guru, guru, guru.” Membaca buku kecil berharga Christopher Bjork, mudah melihat mengapa jawaban serupa dapat menjelaskan penyebab buruknya kinerja pendidikan di Indonesia.

Indonesian Education adalah cerita tentang respons pelaku-pelaku di sekolah terhadap kebijakan pemerintah untuk melakukan desentralisasi yang dimulai awal 1990an. Namun, Bjork menggunakan cerita ini untuk menjelaskan sesuatu yang lebih luas yang, sekilas, kelihatan remeh: Cara guru-guru Indonesia memahami tentang tanggung jawab profesional mereka.

Untuk kebanyakan orang, jelas bahwa tanggung jawab profesional guru adalah mengajar. Namun bukan ini yang ditemukan Bjork pada kunjungannya ke sekolah-sekolah. “Dari sekolah ke sekolah, guru-guru menunjukkan sikap yang seadanya terhadap tugas mengajar... Namun kebanyakan staf sekolah menunjukkan sikap yang amat serius terhadap ritual sekolah” (hal. xiv). Ini membuat dia bertanya-tanya.

Maka, ia pun memutuskan untuk tinggal lebih dari setahun untuk mengamati enam SMP – umum, swasta, dan madrasah – di Malang di akhir 1990an. Ia mewawancara kepala sekolah dan guru, mengamati proses mengajar di kursi belakang, dan duduk-duduk di kantor guru. Hasilnya? Sebuah gambaran yang kaya tentang lingkungan yang dihadapi guru-guru di Indonesia – dan potongan jawaban untuk pertanyaannya.

Salah satu jawabannya ditemukan Bjork dalam sejarah. Orde Baru melihat sekolah sebagai mata rantai penting untuk integrasi nasional. Sekolah menjadi “alat yang penting untuk membangun kesetiaan dan identitas nasional di atas perbedaan etnis, agama, dan kelas”, dan lewat sekolah,”ideologi nasional, pandangan tentang sejarah, serta satu set nilai yang seragam” dikomunikasikan ke warga negara Indonesia.

Maka, Orde Baru mati-matian berusaha memastikan adanya keseragaman ideologis – antara lain, melalui cara menerjemahkan kurikulum:

“Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, para guru memiliki keleluasaan menerjemahkan garis-garis besar yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; pada 1970an, guru ‘semakin dibebani oleh subyek-subyek silabus, kurikulum yang lebih rinci, and lebih banyak lagi tujuan pengajaran.’ (Schaeffer, 1990: 80)” (hal. 53).

Penekanan khusus diletakkan pada kepatuhan dan kesetiaan di sekolah. Misalnya, kepala sekolah menilai para guru dia berdasarkan kriteria seperti kesetiaan, kinerja, kepatuhan, kejujuran, kerja sama, dan inisiatif. Untuk semua kriteria ini, 75 adalah nilai kelulusan – kecuali untuk kesetiaan, di mana guru harus mendapatkan 90 untuk bisa tetap mengajar.

Semua hal ini, menurut Bjork, memberikan isyarat pada para guru bahwa tujuan utama dia adalah untuk mendukung tujuan-tujuan yang dibuat oleh pemerintah pusat di Jakarta. Mereka mempertegas ide bahwa “guru dihargai berdasarkan kerelaan dia melayani pemerintah, bukan keahlian dia sebagai guru” (hal. 95) – sesuatu yang dikonfirmasi oleh keharusan tak tertulis bagi guru sekolah umum untuk bergabung dengan Korpri dan memilih Golkar. Alih-alih harus menjadi guru, pada pengajar diharapkan menjadi guru sekaligus birokrat.

Bjork dengan meyakinkan menggambarkan bagaimana, dalam pelbagai kesempatan, identitas birokrat ini mengalahkan identitas guru. Para guru, misalnya, akan selalu hadir tepat waktu untuk upacara bendera, namun bisa secara tiba-tiba meninggalkan kelas di tengah pelajaran tanpa alasan yang jelas. Antusiasme yang ada dalam rapat guru untuk membahas perayaan ulang tahun sekolah bisa menguap begitu saja dalam rapat tentang kurikulum baru dan teknik mengajar. Memang, ada pengecualian, namun pengecualian ini justru menunjukkan norma yang berlaku.

Mental ini, menurut Bjork, bertanggung jawab atas kegagalan kebijakan Kurikulum Muatan Lokal (KML) pada awal 1990an. Pemerintah pusat, ingin mengikuti tren global desentralisasi pendidikan, memperbolehkan (bahkan mengharuskan) pengelola sekolah memberikan duapuluh persen jam pelajaran untuk kurikulum yang dirancang oleh komunitas pendidikan lokal. Kebebasan ini tidak membuat para guru mulai bereksperimen dengan kurikulum; alih-alih, mereka sekadar memberikan label mata pelajaran “KML” pada mata pelajaran yang sudah ada.

Mengapa para guru tidak antusias, walaupun di atas kertas, semua pihak menganggap KML sebagai kebijakan yang baik? Menurut Bjork, ada masalah mental guru-birokrat:

“Guru-guru di Indonesia tidak melihat diri mereka sebagai agen pembawa perubahan; mereka tidak menjadi guru untuk itu... Peran pengajar sebagai pegawai negeri lebih ditekankan daripada peran sebagai pendidik, dan kesempatan seorang guru untuk membentuk kebijakan dan praktik di sekolah terbatas. Kepatuhan dan bukannya inisiatif-lah yang dihargai.” (hal. 110)

Di lain pihak, para pejabat kerap gagal mengerti bahwa desentralisasi pendidikan bukanlah melulu proses teknis, melainkan sebuah proses yang mengharuskan perubahan institusional secara drastis. “Desentralisasi,” menurut Bjork, “mengharuskan perubahan pada budaya institusional, namun [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan] hanyalah memperhatikan aspek teknis dari proses ini.” (hal. 172).

Hingga kini, gegap-gempita desentralisasi pendidikan terus berlanjut. Dalam inkarnasinya terakhir, ini mengambil bentuk “manajemen berbasis sekolah”. Kegagalan masa lalu tidak berarti inisiatif ini akan gagal lagi. Namun, kegagalan ini mengisyaratkan bahwa ada yang perlu diperbaiki.

Agar berhasil, Bjork percaya bahwa “para pejabat baik di pusat maupun daerah harus memiliki komitmen pada ide yang menjadi dasar desentralisasi, dan memberikan cukup dukungan material dan logistik untuk upaya reformasi.” Sayangnya, menilai dari kontroversi ujian nasional kemarin, muncul pertanyaan apakah komitmen ini benar-benar ada.

5 Comments:

  • Bung, selain untuk guru SMA 17 itu, mengapa ente tidak kirim resensi itu dalam bahasa Indonesia ke media berbahasa Indonesia, Kompas misalnya? Yang baca akan lebih banyak, banyak manfaatnya untuk banyak orang...

    By Anonymous Anonymous, at 7/12/2006 08:51:00 pm  

  • Saya selalu merasa tidak nyaman melakukan double posting ke media, untuk tulisan yang sama -- meskipun dengan bahasa berbeda.

    Rencananya memang saya akan menulis resensi buku ini untuk dimuat ke Kompas, tapi harus antre karena saya baru saja mengirimkan resensi buku lain.

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/12/2006 08:55:00 pm  

  • Bung Dicky:
    Kalau mengambil pelajaran dari buku ini, memang tidak bisa berharap terlalu banyak dari para guru.

    Masalahnya, proses rekrutmen maupun tempaan sistem guru-birokrat menyebabkan mereka yang tersaring masuk justru adalah yang patuh, bukan yang kreatif (seringkali cermin pemberontakan).

    Karena itu, kecuali di sekolah unggulan, norma yang berlaku adalah yang patuh pada kunci jawaban.

    Cara perbaikan? Saya rasa memang tidak bisa dari penerbit bukunya ya ;-). Yang perlu dirombak, mungkin, adalah sistem pendidikan dan sistem guru-birokrat ini.

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/16/2006 03:07:00 am  

  • Hehehe.. iya Bung. Tapi mungkin permasalahannya adalah tidak adanya kelanjutan program dari satu sistem ke sistem lainnya. Saat ini, Kurikulum 2006 dibuat di atas mekanisme sistem BSNP, yang ternyata perombakan kurikulumnya enggak meneruskan esensi dari KBK 2004 yang berfokus kepada pembangunan psikomotorik dan afektif. Mungkin ini yang saya rasakan betul, karena saya memegang mata pelajaran yang cukup "kritis", yaitu Sejarah dan Kewarganegaraan. Kurikulum baru cenderung mengarah ke sentralistik doktrinasi, kayak model pas Orde Baru.

    Nah, mungkin permasalahan selanjutnya adalah selagi kita merancang suatu "gebrakan sistemik" seperti yang pernah ente ceritakan dulu itu, anak2 didik ini harus meneruskan pola pendidikan progresifnya. Mungkin disinilah peran Editor (bukan penerbit, hehehe). :)

    Saya yakin proses evolusi perombakan sistem ini akan memakan waktu antara 5 sampai 10 tahun, Bung. Nah, selama itu anak2 didik ini harus terus berjalan dengan tingkat eskalasi kekritisan dan daya refleksi yang makin baik. Monggo silahken kepada ente untuk "menggebrak" sistem itu secara sistemik. Saya akan bantu dari sini dengan tetap menjaga kualitas bahan ajar.

    Tapi memang masalah ke-kreativitas-an dan ke-kritis-an guru itu juga sering membuat saya pusing, Bung. Di satu sisi saya pengen banget ngedorong mereka untuk lebih berkreasi. Tapi di lain sisi, permintaan silabus dan kunci jawaban itu sayangnya malah menjadi "perangkat promosi" yang akan mendongkrak angka penjualan buku secara signifikan. Mungkin inilah harmoni yang masih harus saya cari. Ente ada saran, Bung? :)

    By Anonymous Anonymous, at 7/17/2006 05:25:00 am  

  • Bung Dicky: Sulitnya mendorong inisiatif ya karena inisiatif tidak bisa disuruh ya?

    Meskipun enggak sepenuhnya benar sih: Struktur insentif (bukan hanya ekonomi, tapi moral dan sosial)- carrot and stick - bisa mendorong pekerja untuk menjadi orang "ABS" (Asal Bapak Senang) atau tidak.

    Serupa, struktur insentif bisa mendorong supaya yang melamar masuk ke birokrasi bukannya ABS tapi punya inisiatif.

    Kalau mau lihat contoh parahnya kultur birokrasi kita, coba lihat di sini. Mental ini yang dimaksud Bjork merasuk dalam sistem pendidikan.

    Ngomong-ngomong, kalau soal kunci jawaban, untuk pelajaran matematika, misalnya, mungkin tidak salah juga. Kunci jawaban itu sifatnya netral: Digunakan dengan baik, bisa memastikan guru tidak mengajarkan hal yang salah.

    Lagi pula, agak sulit menjadikan buku panduan insentif untuk mengubah perilaku guru, karena guru punya barang substitusi, yakni buku panduan lainnya. Jadi, tetaplah membuat kunci jawaban. Tapi jangan salah-salah - kasihan murid (dan gurunya) ;-).

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/17/2006 05:06:00 pm  

Post a Comment

<< Home