Indonesia | Economics

Wednesday, October 27, 2004

Strategi komunikasi pencabutan subsidi BBM

Agar pemerintah memiliki keleluasaan fiskal untuk stimulasi ekonomi, tak pelak subsidi BBM harus dicabut. Hanya saja, pencabutan ini tidak akan mudah - dan tidak sekadar mengganti 'kerugian' kelompok miskin dengan 'kompensasi'. Insights dari behavioural economics menjelaskan mengapa.

Anda suka teka-teki? Kalau ya, cobalah yang berikut: Serangan epidemi diperkirakan akan membunuh 600 orang. Terdapat dua program pencegahan yang akan membuahkan hasil berikut: jika Program A dipilih, 200 orang pasti selamat; sementara jika Program B yang diambil, ada sepertiga kemungkinan 600 orang selamat dan dua pertiga kemungkinan tak seorang pun selamat. Yang manakah yang Anda pilih?

Anda sudah memilih? Jika sudah, bagaimana jika pilihannya diubah menjadi antara Program C dan D: Jika Program C yang dipilih, 400 orang pasti mati; sementara jika D yang dipilih, ada sepertiga kemungkinan tak seorang pun akan mati dan dua pertiga kemungkinan 600 orang akan mati. Pilihan Anda?

Sepasang pertanyaan ini diajukan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky kepada dua kelompok berbeda yang dipilih secara acak. Hasilnya? Dari sekitar 150 responden, 72 persen dari kelompok pertanyaan pertama memilih Program A, dan 78 persen dari kelompok pertanyaan kedua memilih Program D (Kahneman dan Tversky, 1981).

Padahal kalau diperhatikan, Program A dan Program C – seperti juga Program B dan D – adalah sama. Namun, bahkan ketika kedua pertanyaan ini ditanyakan berturutan (dan bukan dalam kesempatan terpisah), ternyata banyak yang memilih Program A dan D. Pertanyaannya, mengapa?

Anomali ini ternyata disebabkan oleh cara ‘membingkai’ pertanyaan. Jika dibingkai sebagai upaya ‘mendapatkan’ (atau menyelamatkan) nyawa, mayoritas memilih yang pasti; sementara, sebagai persoalan ‘kehilangan’ nyawa, kebanyakan memilih mencoba mengadu nasib. Digeneralisasi lebih jauh, dalam bingkai mendapatkan sesuatu (gains), orang cenderung memilih kepastian; sedangkan sebagai soal kehilangan (losses), kebanyakan mencoba peruntungan.

***

Eksperimen Kahneman dan Tversky ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, cara membingkai persoalan menentukan reaksi atasnya. Dan kedua, reaksi orang terhadap gains dan losses tidaklah simetris – dalam kasus di atas, dalam hal perilaku terhadap risiko dan kemungkinan. Dan ternyata, bukan di sini sajalah reaksi tersebut asimetris – ada reaksi serupa dalam fenomena ketakutan kehilangan (loss aversion).

Sebelumnya, ekonom beranggapan bahwa rasa senang yang dirasakan seseorang ketika mendapatkan, misalnya, sebuah mug cantik (gains) sama besarnya dengan kekesalannya kehilangan mug tersebut (losses). Temuan Tversky dan Kahneman (1991) mengubah anggapan itu.

Dengan menggunakan indikator kerelaan untuk membayar (KUM) dan kerelaan menerima tawaran (KMT), Tversky dan Kahneman menunjukkan loss aversion. KUM adalah harga yang rela dibayar untuk mendapatkan sebuah barang; KMT adalah harga dimana seseorang rela melepas barang yang dimilikinya. Teori ekonomi tradisional beranggapan bahwa KUM sama dengan KMT.

Melalui sebuah eksperimen menarik, Tversky dan Kahneman (1991) menunjukkan fenomena loss aversion. Satu kelompok diberikan mug cantik, lalu diminta menuliskan pada harga berapa mereka rela melepas mug tadi (KMT). Kelompok lainnya melihat mug, lalu diminta memutuskan harga yang layak untuknya (KUM). Ternyata, tidak seperti anggapan sebelumnya, eksperimen menunjukkan KMT yang jauh lebih besar daripada KUM.

Ini berarti bahwa mereka yang pernah memiliki mug, meski hanya sekejap, lebih menghargainya dibandingkan mereka yang tidak pernah memilikinya. Atau, dengan kata lain, kekesalan karena kehilangan sesuatu yang pernah dimiliki melebihi rasa senang ketika mendapatkannya. Inilah fenomena loss aversion.

***



Diskusi tentang bingkai dan loss aversion amat relevan dengan masalah yang dihadapi para ekonom yang sekarang berada di pemerintah baru terpilih, terutama untuk menghadapi salah satu duri dalam daging anggaran pemerintah Indonesia: subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Studi dan fakta menunjukkan bahwa (a) subsidi BBM berat membebani anggaran pemerintah, khususnya anggaran pembangunan; (b) subsidi BBM, khususnya bensin, lebih menguntungkan kelas menengah dan pengusaha (LPEM-FEUI, 2003) – pencabutan subsidi justru berpihak pada si miskin melalui anggaran pembangunan ; (c) subsidi langsung jauh lebih berpihak kepada si miskin; dan (d) kenaikan harga barang dari pencabutan subsidi relatif kecil (LPEM-FEUI, 2003; Gaduh, 2003).

Akhir-akhir ini, fakta-fakta ini gencar dikampanyekan; namun masyarakat belum juga rela melepaskan subsidi salah sasaran ini: Hampir 80 persen responden survai Lembaga Survei Indonesia (LSI) tidak setuju penghapusan subsidi. Ini menunjukkan perlunya kampanye terus dijalankan, dan temuan-temuan behavioural economics menawarkan beberapa insights:

Pertama, selama ini seluruh masyarakat – kaya maupun miskin – merasa berhak atas subsidi BBM. Dalam bingkai demikian, fenomena loss aversion mengemuka bersamaan munculnya rencana mencabut subsidi. Komunikasi politik – bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga terutama kepada para elit politik – perlu difokuskan pada upaya menyadarkan bahwa subsidi bukanlah hak asasi, melainkan hak mereka yang membutuhkan.

Kedua, pencabutan subsidi perlu dibingkai secara tepat. Pada faktanya, subsidi berarti hilangnya dana anggaran pembangunan – dan berarti, hilangnya kesempatan penciptaan lapangan pekerjaan. Perlu ditunjukkan kehilangan-kehilangan yang dialami jika subsidi terus dipertahankan.

Ketiga, sampai batas tertentu, mereka yang miskin berhak disubsidi. Pencabutan subsidi tanpa rencana subsidi langsung pengganti yang jelas dan dikomunikasikan jernih akan memperkuat efek loss aversion. Menghadapi fenomena loss aversion, pemerintah juga perlu meyakinkan kelompok miskin bahwa keuntungan yang didapat dari subsidi langsung jauh lebih besar daripada kerugian dari pencabutan subsidi. Sekarang ini, kesannya subsidi akan hilang namun penggantinya belum tentu datang.

Keempat, pemerintah perlu hati-hati dalam membingkai program-program pengganti subsidi BBM. Penggunaan istilah seperti ‘kompensasi’ dapat mengesankan bahwa program tersebut lagi-lagi adalah hak asasi semua penerimanya sekarang (yang mungkin sudah tak lagi miskin beberapa tahun ke depan). Bingkai yang salah akan menyulitkan upaya mencabut program yang tidak tepat sasaran di masa depan.

***

Jika Anda masih membaca sampai di sini, tentunya Anda suka teka-teki. Mungkin Anda akan tertarik sepasang pertanyaan ini. Pertanyaan pertama adalah yang kerap dibingkai politisi dan pengusaha: Jika mencabut subsidi BBM yang dipilih, akan hilanglah bensin dan barang murah, serta stabilitas sosial. Dengan subsidi, Anda memiliki status quo.

Namun, sebelum Anda memilih, pertimbangkan pertanyaan kedua: jika Anda memilih mempertahankan subsidi BBM, akan hilang dan atau berkuranglah hal-hal berikut: pembangunan infrastruktur (jalan, transportasi umum, listrik) serta fasilitas pendidikan dan kesehatan; dana pemberdayaan orang miskin; dan efisiensi serta keleluasaan menstimulasi ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2004 saja, jumlah kehilangan adalah 63 trilyun rupiah, lebih dari seperlima pengeluaran pemerintah pusat.

Ketika Anda membaca, mendengar, atau merasakan jalan yang tidak memadai, pemadaman listrik bergilir, tak cukupnya subsidi pendidikan dan kesehatan untuk orang miskin, tingkat pengangguran tinggi – inilah bagian dari kehilangan akibat 63 trilyun rupiah subsidi BBM pada 2004. Sebagai gantinya, Anda, para pemilik kendaraan bermotor, dan pengusaha mendapatkan harga bensin dan barang (mewah) yang sedikit lebih murah.

Program Subsidi BBM atau tidak – pilihan Anda?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home