Sisi Lain MNC, Sang ‘Leviathan Baru’
Bagi dia, MNC tak lain adalah monster pemangsa ganas tak berperikemanusiaan, sang ‘Leviathan baru’. Serentetan kisah ngeri tentang MNC pun gamblang terpapar, membawa pada kesan seolah MNC adalah ancaman tak kalah mengerikan dibandingkan bom nuklir.
Jika benar demikian, konsekuensi logisnya, tentu saja, adalah agar pemerintah menutup diri dari MNC dan investor asing. Namun aneh, kesimpulan ini justru tidak muncul; ada kesan sang penulis ragu menyimpul tulisannya dengan sikap anti-MNC yang diusung sebelumnya. Jika memang sedemikian mengerikan, bukankah baiknya kita usir saja MNC dan kita tutup pintu negeri dari rambahan kapitalis global?
Entah mengapa kemudian kesimpulan ini tidak mengemuka. Namun, memang seharusnyalah demikian: bukti menunjukkan MNC tidaklah semengerikan ancaman bom nuklir; sebaliknya kedatangan MNC seringkali, bahkan umumnya, membawa kesejahteraan.
Namun ekonom percaya bahwa keinginan meraih keuntungan tidak serta-merta buruk. Melalui transaksi jual-beli, keinginan mencari keuntungan sendiri bisa menjadi keuntungan bersama. Penjual cendol tak berderma dengan berjualan, penikmatnya pun tidak membeli demi kesejahteraan penjualnya. Penjual cendol menjual dan para penikmatnya membeli karena mencari keuntungan sendiri; namun, semuanya diuntungkan oleh transaksi.
Begitu pula halnya dengan para investor asing: keinginan mendapatkan keuntungan sendirilah yang mendorong mereka mencari pekerja yang lebih murah di negara berkembang. Pekerja pun mencari keuntungan diri sendiri ketika memutuskan bekerja untuK MNC – sebuah pilihan yang dibuat karena alternatifnya, yakni pengangguran, jauh lebih tidak menyenangkan.
Namun, banyak yang agaknya beranggapan MNC akan cenderung menekan para pekerja di negara berkembang, mempekerjakan mereka dengan gaji rendah dan standar kerja yang buruk. Kita semua ingat seringnya tuduhan eksploitasi pekerja diluncurkan terhadap industri manufaktur – Reebok dan Nike, misalnya. Namun, benarkah generalisasi ini?
Data ternyata tidak mendukung tuduhan tersebut. Dalam studi empiris yang dipublikasikan di kertas kerja National Bureau of Economic Research (NBER) tahun 2003, Brown, Deardorff dan Stern mengevaluasi data tentang hubungan antara MNC dan upah buruh maupun standar pekerja. Evaluasi mereka menunjukkan bahwa, rata-rata, upah buruh perusahaan-perusahaan MNC sekitar 33 persen lebih daripada perusahaan domestik.
Selain itu yang juga menarik, dalam mencari lokasi investasi, MNC justru tidak lebih menyukai negara yang kerap melanggar standar pekerja internasional. Sebaliknya, bukti empiris menunjukkan bahwa MNC justru lebih tertarik pada negara yang memberikan kebebasan berserikat bagi buruh, serta rajin meratifikasi ketentuan organisasi buruh interasional, ILO. Dengan kata lain, keberadaan MNC justru mendorong perbaikan standar pekerja mendekati standar internasional.
Yang ingin saya katakan di sini bukanlah bahwa MNC santun dan baik hati, melainkan bahwa bukan ‘kesantunan’ MNC-lah yang terpenting dalam menentukan manfaatnya bagi rakyat negeri ini. Bahkan ketika MNC bertindak mencari kepentingannya sendiri pun, masyarakat dan pekerja Indonesia bisa (bahkan umumnya) diuntungkan karenanya.
Tentu saja, ini tidak melulu benar. Kerap memang, seperti yang terjadi di Buyat, keinginan MNC mencari keuntungannya sendiri menimbulkan masalah. Ketika ini terjadi, pemerintah seharusnya menjadi penengah. Sayangnya, konflik kepentingan membuat pemerintah menjadi tidak efektif.
Dalam teorinya, kasus-kasus pencemaran seperti yang terjadi di Buyat, adalah masalah yang muncul karena transaksi dua pihak ternyata merugikan pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam transaksi tersebut. Ekonom menyebut masalah ini sebagai masalah ‘eksternalitas.’ Untuk menyelesaikannya, kerap dibutuhkan pihak yang netral untuk menentukan kerugian yang diderita pihak ketiga tadi.
Peran netral ini seharusnya dimainkan oleh pemerintah. Masalahnya seringkali pemerintah adalah salah satu pihak yang diuntungkan oleh transaksi tadi. Untuk Kasus Buyat, misalnya, keuntungan eksploitasi tambang emas dibagi antara MNC dan pemerintah. Konflik kepentingan di tubuh pemerintah inilah membuatnya kerap dituduh berpihak dalam memutus kerugian para nelayan Buyat. Maka, janganlah terburu-buru memindahtangankan gelar ‘Leviathan’ dari negara.
Namun, apakah pilah-memilah ‘MNC baik’ dan ‘MNC jahat’ seperti tersirat diusulkan Ignatius, adalah jalan keluarnya? Atau, lebih ekstrem lagi, apakah sebaiknya kita tutup saja pintu dari MNC agar perekonomian Indonesia sepenuhnya dijalankan oleh pengusaha domestik?
Inilah kesimpulan yang ingin saya kritisi dari tulisan Ignatius. Ketika Ignatius menggambarkan investor asing sebagai pemangsa yang ganas, secara implisit ia menyimpulkan pengusaha domestik lebih murah hati dan peduli pada kepentingan umum ataupun pekerjanya.
Studi yang saya kutip di atas, dan pula yang dilakukan oleh Lipsey dan Sjöholm (2002) di Indonesia, berkata lain: MNC ternyata lebih taat asas dalam memperlakukan pekerja di sektor manufaktur. Selain itu, sekadar mengingatkan, masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi beban utang terbesar negeri ini tidak muncul dari ‘keganasan’ investor asing ataupun kapitalis global, melainkan kolusi antara pemerintah saat itu dengan pengusaha domestik.
Ini bukan kemudian berarti bahwa yang asing selalu lebih baik daripada yang domestik. Yang ingin saya katakan di sini, pemilahan ‘asing’ dan ‘domestik’ tidaklah penting: dari manapun asalnya, pengusaha mencari keuntungannya sendiri. Yang penting adalah pemberdayaan peran pengawasan pemerintah dan civil society sehingga upaya pengusaha, asing maupun domestik, memenuhi kepentingan diri mendatangkan manfaat, dan bukan mudarat, bagi kepentingan orang banyak.
0 Comments:
<< Home