Resensi buku: Rumitnya masalah ekonomi pertanian Indonesia
(Kompas, 3 Oktober 2004). Merumuskan kebijakan pertanian memang tidak mudah. Posisi di persimpangan banyak kepentingan, baik ekonomi maupun politik, membuat kebijakan pertanian kerap kali sulit melepaskan diri dari berbagai kontroversi. Kentalnya warna politik dalam berbagai kebijakan tampaknya menyulitkan perbaikan sektor potensial perekonomian Indonesia ini. Usulan perbaikan menuju efisiensi, misalnya, sering dijegal dengan dalih perlindungan petani miskin.
Efektivitas dalih ini membungkam usulan peningkatan efisiensi menciptakan pemerintah yang malas. Alih-alih mencari dan menyelesaikan akar masalah, pemerintah bertindak seolah semua masalah selesai dengan proteksi dan tata niaga. Padahal, seperti gamblang diurai Bustanul Arifin dalam buku Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia (AEPI) ini, upaya tersebut kerap bukan menjadi akar masalahnya.
Menurut Bustanul, mandeknya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam pelbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Entah sadar atau tidak, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.
***
***
Efektivitas dalih ini membungkam usulan peningkatan efisiensi menciptakan pemerintah yang malas. Alih-alih mencari dan menyelesaikan akar masalah, pemerintah bertindak seolah semua masalah selesai dengan proteksi dan tata niaga. Padahal, seperti gamblang diurai Bustanul Arifin dalam buku Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia (AEPI) ini, upaya tersebut kerap bukan menjadi akar masalahnya.
Menurut Bustanul, mandeknya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam pelbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Entah sadar atau tidak, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.
***
Selain terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri, kebijakan pertanian sejak tahun 1980-an itu pun cenderung distortif. Alasan memperpendek rantai tata niaga dipakai menciptakan lembaga-lembaga pemasaran baru. Namun, alih-alih meningkatkan efisiensi, upaya ini justru merusak kelembagaan pengelolaan pertanian. Kelemahan kelembagaan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum. Tanpa penegakan hukum, pemburu rente, baik pengusaha maupun birokrat, dapat mengambil kesempatan dalam kesempitan dari kelemahan kelembagaan. Tata niaga yang pendek dan wewenang yang terpusat di birokrasi membuka lebih jauh kesempatan perburuan rente ini.
Kelemahan kelembagaan inilah yang melatarbelakangi permasalahan sektor pertanian dari hulu ke hilir. Secara komprehensif, Bustanul menunjukkan titik-titik lemah kelembagaan, mulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah dan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras, maupun pengelolaan agribisnis. Pemaparan yang rinci, disertai data maupun studi terkini, memberikan gambaran mendalam problem kelembagaan tadi.
Namun, suksesnya menunjukkan problem kelembagaan maupun kebijakan ini tak selalu diikuti dengan kemampuannya memberikan jawaban yang tegas. Dalam isu tertentu, seperti ketika membahas pengelolaan pupuk dan agribisnis, Bustanul mampu menawarkan kebijakan yang rinci dan mendalam. Hanya, dalam hal yang sensitif, terutama perihal perberasan, ia terkesan ragu memberikan jawaban tidak populer meskipun itu semata-mata konsekuensi logis analisisnya sendiri.
Sebagai contoh, Bustanul mencatat bahwa 76 persen petani Indonesia adalah net consumer beras sehingga petani sebenarnya diuntungkan oleh adanya beras (impor) yang murah. Selain itu, rangkuman studinya sendiri menunjukkan bahwa kebijakan bea masuk tidak efektif melindungi petani maupun membendung masuknya beras impor yang lebih murah di tengah lemahnya instrumen institusional pemerintah (hal 76-68).
Namun, diperhadapkan pada faktanya sendiri, ia tetap ragu mengusulkan agar pemerintah mencampakkan kebijakan bea masuk yang tidak efektif. Bahkan, ia apologetis ketika memulai rangkuman studi yang menunjukkan tidak efektifnya kebijakan itu: "Rangkuman hasil penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi implementasi tarif bea masuk komoditas pertanian..." (hal 67).
Kelemahan kelembagaan inilah yang melatarbelakangi permasalahan sektor pertanian dari hulu ke hilir. Secara komprehensif, Bustanul menunjukkan titik-titik lemah kelembagaan, mulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah dan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras, maupun pengelolaan agribisnis. Pemaparan yang rinci, disertai data maupun studi terkini, memberikan gambaran mendalam problem kelembagaan tadi.
Namun, suksesnya menunjukkan problem kelembagaan maupun kebijakan ini tak selalu diikuti dengan kemampuannya memberikan jawaban yang tegas. Dalam isu tertentu, seperti ketika membahas pengelolaan pupuk dan agribisnis, Bustanul mampu menawarkan kebijakan yang rinci dan mendalam. Hanya, dalam hal yang sensitif, terutama perihal perberasan, ia terkesan ragu memberikan jawaban tidak populer meskipun itu semata-mata konsekuensi logis analisisnya sendiri.
Sebagai contoh, Bustanul mencatat bahwa 76 persen petani Indonesia adalah net consumer beras sehingga petani sebenarnya diuntungkan oleh adanya beras (impor) yang murah. Selain itu, rangkuman studinya sendiri menunjukkan bahwa kebijakan bea masuk tidak efektif melindungi petani maupun membendung masuknya beras impor yang lebih murah di tengah lemahnya instrumen institusional pemerintah (hal 76-68).
Namun, diperhadapkan pada faktanya sendiri, ia tetap ragu mengusulkan agar pemerintah mencampakkan kebijakan bea masuk yang tidak efektif. Bahkan, ia apologetis ketika memulai rangkuman studi yang menunjukkan tidak efektifnya kebijakan itu: "Rangkuman hasil penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi implementasi tarif bea masuk komoditas pertanian..." (hal 67).
***
Selain hal kelembagaan, tema yang terus diusung Bustanul dalam AEPI adalah soal keberpihakan. Ia mendorong para ekonom, politisi, perumus kebijakan, dan elite lainnya untuk berpihak dengan "menempatkan sektor pertanian sebagai basis utama dan posisi kunci dalam pembangunan ekonominya" (hal 27).
Walaupun terus berkumandang sepanjang buku ini, makna "keberpihakan" tidak selalu jelas. Yang umum dimengerti tentang pemihakan kebijakan publik adalah dengan perlakuan khusus sektoral. Perlakuan khusus ini bisa melalui penerapan tarif komoditas pertanian, kebijakan harga, atau subsidi input ataupun bunga kredit - dan selalu menciptakan distorsi dalam perekonomian.
Namun, agaknya "keberpihakan" memiliki makna berbeda, dan tidak selalu konsisten, dalam AEPI. Dalam beberapa bagian, misalnya, Bustanul mengusulkan pemerintah mempertahankan kebijakan distortif seperti patokan harga (hal 80) dan suku bunga khusus (hal 275). Akan tetapi, di bagian lain, ia memakai pendekatan mainstream ekonomi dengan "keberpihakan yang netral".
Ini tercermin dalam ulasannya di bab akhir tentang rekonstruksi kebijakan ekonomi pertanian. Bagi dia, pemerintah perlu melakukan integrasi sektor pertanian dalam kebijakan makro agar tidak berat sebelah mendukung sektor industri. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana (termasuk untuk penelitian). Subsidi tetap diperlukan, namun bukan bukan subsidi sektoral, melainkan subsidi kelompok miskin yang kebanyakan berada di pedesaan.
Atau, pendeknya, pemerintah perlu strategi peningkatan daya saing pertanian yang tidak menciptakan distorsi perekonomian. Pesan keberpihakan yang netral ini perlu menjadi perhatian politisi dan perumus kebijakan. Di tengah gencarnya politisasi isu pertanian dan pretensi perlindungan petani miskin, AEPI menunjukkan keberpihakan yang lebih efisien dan berkelanjutan daripada yang diterapkan sekarang.
Sebagai sebuah buku, seperti buku mana pun, AEPI tidaklah sempurna. Beberapa kelemahan, seperti persoalan konsistensi dan adanya pengulangan, muncul di beberapa tempat; ini antara lain muncul karena formatnya yang lebih tepat disebut sebagai kumpulan karangan daripada buku. Hanya saja kelemahan ini tidak mengurangi nilai uniknya sebagai analisis komprehensif ekonomi pertanian yang relatif, walau tidak selalu, steril dari semangat-semangat populis.
Walaupun terus berkumandang sepanjang buku ini, makna "keberpihakan" tidak selalu jelas. Yang umum dimengerti tentang pemihakan kebijakan publik adalah dengan perlakuan khusus sektoral. Perlakuan khusus ini bisa melalui penerapan tarif komoditas pertanian, kebijakan harga, atau subsidi input ataupun bunga kredit - dan selalu menciptakan distorsi dalam perekonomian.
Namun, agaknya "keberpihakan" memiliki makna berbeda, dan tidak selalu konsisten, dalam AEPI. Dalam beberapa bagian, misalnya, Bustanul mengusulkan pemerintah mempertahankan kebijakan distortif seperti patokan harga (hal 80) dan suku bunga khusus (hal 275). Akan tetapi, di bagian lain, ia memakai pendekatan mainstream ekonomi dengan "keberpihakan yang netral".
Ini tercermin dalam ulasannya di bab akhir tentang rekonstruksi kebijakan ekonomi pertanian. Bagi dia, pemerintah perlu melakukan integrasi sektor pertanian dalam kebijakan makro agar tidak berat sebelah mendukung sektor industri. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana (termasuk untuk penelitian). Subsidi tetap diperlukan, namun bukan bukan subsidi sektoral, melainkan subsidi kelompok miskin yang kebanyakan berada di pedesaan.
Atau, pendeknya, pemerintah perlu strategi peningkatan daya saing pertanian yang tidak menciptakan distorsi perekonomian. Pesan keberpihakan yang netral ini perlu menjadi perhatian politisi dan perumus kebijakan. Di tengah gencarnya politisasi isu pertanian dan pretensi perlindungan petani miskin, AEPI menunjukkan keberpihakan yang lebih efisien dan berkelanjutan daripada yang diterapkan sekarang.
Sebagai sebuah buku, seperti buku mana pun, AEPI tidaklah sempurna. Beberapa kelemahan, seperti persoalan konsistensi dan adanya pengulangan, muncul di beberapa tempat; ini antara lain muncul karena formatnya yang lebih tepat disebut sebagai kumpulan karangan daripada buku. Hanya saja kelemahan ini tidak mengurangi nilai uniknya sebagai analisis komprehensif ekonomi pertanian yang relatif, walau tidak selalu, steril dari semangat-semangat populis.
2 Comments:
well..banyak ponts yang kamu berikan for pertanian tapi, saya perlukan banyak lagi fakta untu mengatakan kalu sektor pertanian ini adalah satu sektor yang terumnag-ambing dan tidak relevan dalam usaha menjana ekonomi negara..boleh bantu???saya hanya mencari isi untuk perbahasan sekolah sahaja bukan untuk membangkang pihak kerajaan negara.
By Mia Farha, at 3/20/2010 07:40:00 am
hebat kak..,
smoga ilmu mu ini bermanfaat bagi yang lain..
amin
By agustono, at 7/18/2010 10:59:00 pm
Post a Comment
<< Home