Gunakan BBM untuk kemakmuran rakyat!
Dalam Tunjukkan subsidi BBM sama dengan uang keluar! (Bisnis, 6/12) , Kwik Kian Gie kembali mempersoalkan benar-tidaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) uang keluar. Sebelumnya dalam Subsidi BBM, nilai ekonomi dan prioritas anggaran (Bisnis, 26/11), saya telah membedah argumentasi yang diulang Kwik dalam tulisan di atas.
Kritik terdahulu tak akan disinggung di sini - pembaca yang tertarik dapat melihat selengkapnya di bawah. Selain menghindari pengulangan, tulisan ini memang tidak ingin mendebat benar-tidaknya subsidi BBM uang keluar, melainkan menunjukkan remehnya perdebatan itu bagi hajat hidup orang banyak.
Dua cara pandang
Tergantung cara pandang, subsidi BBM dapat dilihat sebagai uang keluar – ataupun bukan. Secara pembukuan, selama harga jualnya di atas biaya ekstraksi atau penyedotan, tidak ada uang keluar: sebagai warisan alam, pemerintah tidak “membeli” BBM. Dijual serupiah di atas biaya ekstraksi pun, BBM masih memberikan surplus, sehingga subsidi BBM bukan uang keluar. Inilah cara pandang Kwik.
Namun, secara ekonomi, menjual BBM serupiah di atas biaya ekstraksi bisa berarti kerugian alias “uang keluar” seandainya pembeli umumnya rela membayar dua rupiah. Kenapa? Karena demi pemasukan satu rupiah, pemerintah kehilangan asetnya, BBM, yang bernilai potensial dua rupiah. Secara ekonomi, pemerintah tekor satu rupiah.
Dua cara pandang ini punya kegunaan masing-masing. Cara pembukuan berguna untuk pencatatan keuangan; namun, gambaran kondisi riil keuangan (negara ataupun perusahaan) lebih tepat didapat dari cara ekonomi. Debat dua kubu – antara yang berpikir subsidi BBM adalah pengeluaran dan yang tidak – berakar dari perbedaan cara pandang ini.
Warisan dua bersaudara
Perbedaan cara pandang akan lebih jelas dalam ilustrasi berikut. Sepasang kakak-beradik masing-masing diwarisi dua batang emas 100 gram. Sebulan kemudian, keduanya mendapatkan pemasukan Rp10 juta. Karena emas itu didapatkan secara cuma-cuma, secara pembukuan, kinerja keduanya sama.
Namun, dari sudut pandang ekonomi belum tentu. Jika penghasilan kakak berasal dari penjualan dua batang emas, masing-masing Rp5 juta, sedangkan sang adik menjual sebatang seharga pasar Rp10 juta, maka yang serupa secara pembukuan berbeda secara ekonomi. Secara ekonomi, kondisi keuangan adik jelas lebih baik karena ia memiliki Rp10 juta dan sebatang emas sebagai aset.
Cara pandang ekonomi lebih tepat menggambarkan kondisi keuangan sebenarnya dua bersaudara ini – tapi, so what? Bagi dua bersaudara ini, tentunya tidak penting apakah cara pandang pembukuan atau ekonomi yang tepat. Bagi mereka, yang lebih penting adalah mencari cara agar aset itu optimal dipergunakan untuk kemakmuran mereka.
Seperti mereka, para perintis republik ini pun akan setuju inilah yang lebih penting.
BBM untuk kemakmuran rakyat
Para pendukung keniscayaan subsidi BBM kerap mendasarkan argumen mereka pada Pasal 33, Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Konon, pasal ini mendukung argumen bahwa BBM adalah milik rakyat, sehingga harus disediakan pada harga terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Benarkah?
Ada baiknya kita teliti lagi. Pasal 33, Ayat 3, UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan kata lain, BBM adalah aset yang dikuasai Negara (dan dikelola pemerintah) untuk seoptimal mungkin dipergunakan demi kemakmuran.
Kira-kira, apa komentar para perancang UUD 1945 dan perintis negeri ini jika mereka harus mengikuti perdebatan subsidi BBM? Saya pikir, mereka mungkin tak akan berpanjang-panjang soal definisi. Namun, alih-alih, sejalan dengan pasal ini, mereka mungkin lebih ingin tahu sejauh mana pemerintah optimal menggunakan aset BBM-nya untuk kemakmuran rakyat.
Untuk menjawab pertanyaan mereka, dua aspek selalu menjadi pertimbangan. Pertama, adalah soal efisiensi; dan kedua, soal keadilan.
Untuk yang pertama, tidak usah kita berpanjang-panjang: mematok murah harga BBM menciptakan pemborosan dan merugikan sektor-sektor hemat BBM. Maka, dari sudut efisiensi, subsidi BBM bertentangan dengan mandat UUD agar kekayaan alam optimal digunakan demi kemakmuran.
Tapi, efisiensi bukan satu-satunya masalah.
Kebijakan berkeadilan
Saya baru saja kembali dari Pulau Buton. Buton adalah salah satu daerah yang terbanyak menerima pengungsi akibat konflik di Ambon. Banyak pengungsi tersebut menolak kembali ke Ambon, sehingga menciptakan masalah pemukiman: pemerintah daerah kesulitan anggaran untuk membangun infrastruktur sosial untuk menampung mereka.
Para pengungsi yang saya temui miskin. Mereka hidup berkebun dekat rumah, dan berjalan kaki ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka. Sesekali, jika ada uang lebih, mereka naik ojek untuk pulang ke pemukiman satu kilometer mendaki dari pasar. Namun, lebih sering, mereka memilih berjalan mendaki.
Di negara yang sebagian besar penduduk miskinnya adalah petani, inilah potret realitas kemiskinan Indonesia. Harga bensin murah hanya secuil saja memakmurkan kaum miskin pedesaan. Sisanya? Silakan lihat ke kota, dari mobil mewah, sedan kecil, angkutan kota, taksi sampai dengan bajaj. Merekalah yang dimakmurkan aliran anggaran untuk mempertahankan harga bensin tetap murah.
Alih-alih diuntungkan oleh bensin murah, kaum miskin pedesaan justru dirugikan. Anggaran yang terpaksa dipakai mensubsidi pengguna bensin tak lagi bisa dipakai membangun infrastruktur pedesaan. Ketika retorika politik menuntut perbaikan kualitas manusia Indonesia, ironis jika kebutuhan pengguna bensin lebih penting daripada kebutuhan akan pemukiman, sekolah, puskesmas, dan rumah sakit.
Pendukung subsidi kerap mencari pembelaan dari status wong cilik pengendara angkutan umum dan bajaj, serta demonstran di Jakarta yang menolak pencabutan subsidi. Seorang rekan, pengamat kemiskinan, menuduh pembelaan seperti ini bias perkotaan. Di pedesaan, kaum miskin boro-boro punya bajaj – naik angkutan pun tak bisa. Kenapa? Tak ada jalanan untuk dilewati.
Benar bahwa pencabutan subsidi bisa berimbas pada kaum miskin, di kota maupun di desa. Namun, ini hanya berarti, pemerintah perlu seksama memperhatikan dampak pencabutan subsidi agar imbasnya minim bagi masyarakat termiskin negeri ini – dan bukan alasan mempertahankan subsidi yang mayoritas penikmatnya sudah mapan!
John Rawls dalam A Theory of Justice pernah menulis:”...hukum-hukum dan institusi-institusi tak peduli betapapun efisien dan rapi tertata harus direformasi dan dicabut jika tidak adil...” Subsidi BBM, terutama untuk bensin, tidak efisien dan tidak adil. Bukankah sudah waktunya ketidakadilan ini direformasi dan dicabut?
Kritik terdahulu tak akan disinggung di sini - pembaca yang tertarik dapat melihat selengkapnya di bawah. Selain menghindari pengulangan, tulisan ini memang tidak ingin mendebat benar-tidaknya subsidi BBM uang keluar, melainkan menunjukkan remehnya perdebatan itu bagi hajat hidup orang banyak.
Dua cara pandang
Tergantung cara pandang, subsidi BBM dapat dilihat sebagai uang keluar – ataupun bukan. Secara pembukuan, selama harga jualnya di atas biaya ekstraksi atau penyedotan, tidak ada uang keluar: sebagai warisan alam, pemerintah tidak “membeli” BBM. Dijual serupiah di atas biaya ekstraksi pun, BBM masih memberikan surplus, sehingga subsidi BBM bukan uang keluar. Inilah cara pandang Kwik.
Namun, secara ekonomi, menjual BBM serupiah di atas biaya ekstraksi bisa berarti kerugian alias “uang keluar” seandainya pembeli umumnya rela membayar dua rupiah. Kenapa? Karena demi pemasukan satu rupiah, pemerintah kehilangan asetnya, BBM, yang bernilai potensial dua rupiah. Secara ekonomi, pemerintah tekor satu rupiah.
Dua cara pandang ini punya kegunaan masing-masing. Cara pembukuan berguna untuk pencatatan keuangan; namun, gambaran kondisi riil keuangan (negara ataupun perusahaan) lebih tepat didapat dari cara ekonomi. Debat dua kubu – antara yang berpikir subsidi BBM adalah pengeluaran dan yang tidak – berakar dari perbedaan cara pandang ini.
Warisan dua bersaudara
Perbedaan cara pandang akan lebih jelas dalam ilustrasi berikut. Sepasang kakak-beradik masing-masing diwarisi dua batang emas 100 gram. Sebulan kemudian, keduanya mendapatkan pemasukan Rp10 juta. Karena emas itu didapatkan secara cuma-cuma, secara pembukuan, kinerja keduanya sama.
Namun, dari sudut pandang ekonomi belum tentu. Jika penghasilan kakak berasal dari penjualan dua batang emas, masing-masing Rp5 juta, sedangkan sang adik menjual sebatang seharga pasar Rp10 juta, maka yang serupa secara pembukuan berbeda secara ekonomi. Secara ekonomi, kondisi keuangan adik jelas lebih baik karena ia memiliki Rp10 juta dan sebatang emas sebagai aset.
Cara pandang ekonomi lebih tepat menggambarkan kondisi keuangan sebenarnya dua bersaudara ini – tapi, so what? Bagi dua bersaudara ini, tentunya tidak penting apakah cara pandang pembukuan atau ekonomi yang tepat. Bagi mereka, yang lebih penting adalah mencari cara agar aset itu optimal dipergunakan untuk kemakmuran mereka.
Seperti mereka, para perintis republik ini pun akan setuju inilah yang lebih penting.
BBM untuk kemakmuran rakyat
Para pendukung keniscayaan subsidi BBM kerap mendasarkan argumen mereka pada Pasal 33, Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Konon, pasal ini mendukung argumen bahwa BBM adalah milik rakyat, sehingga harus disediakan pada harga terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Benarkah?
Ada baiknya kita teliti lagi. Pasal 33, Ayat 3, UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan kata lain, BBM adalah aset yang dikuasai Negara (dan dikelola pemerintah) untuk seoptimal mungkin dipergunakan demi kemakmuran.
Kira-kira, apa komentar para perancang UUD 1945 dan perintis negeri ini jika mereka harus mengikuti perdebatan subsidi BBM? Saya pikir, mereka mungkin tak akan berpanjang-panjang soal definisi. Namun, alih-alih, sejalan dengan pasal ini, mereka mungkin lebih ingin tahu sejauh mana pemerintah optimal menggunakan aset BBM-nya untuk kemakmuran rakyat.
Untuk menjawab pertanyaan mereka, dua aspek selalu menjadi pertimbangan. Pertama, adalah soal efisiensi; dan kedua, soal keadilan.
Untuk yang pertama, tidak usah kita berpanjang-panjang: mematok murah harga BBM menciptakan pemborosan dan merugikan sektor-sektor hemat BBM. Maka, dari sudut efisiensi, subsidi BBM bertentangan dengan mandat UUD agar kekayaan alam optimal digunakan demi kemakmuran.
Tapi, efisiensi bukan satu-satunya masalah.
Kebijakan berkeadilan
Saya baru saja kembali dari Pulau Buton. Buton adalah salah satu daerah yang terbanyak menerima pengungsi akibat konflik di Ambon. Banyak pengungsi tersebut menolak kembali ke Ambon, sehingga menciptakan masalah pemukiman: pemerintah daerah kesulitan anggaran untuk membangun infrastruktur sosial untuk menampung mereka.
Para pengungsi yang saya temui miskin. Mereka hidup berkebun dekat rumah, dan berjalan kaki ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka. Sesekali, jika ada uang lebih, mereka naik ojek untuk pulang ke pemukiman satu kilometer mendaki dari pasar. Namun, lebih sering, mereka memilih berjalan mendaki.
Di negara yang sebagian besar penduduk miskinnya adalah petani, inilah potret realitas kemiskinan Indonesia. Harga bensin murah hanya secuil saja memakmurkan kaum miskin pedesaan. Sisanya? Silakan lihat ke kota, dari mobil mewah, sedan kecil, angkutan kota, taksi sampai dengan bajaj. Merekalah yang dimakmurkan aliran anggaran untuk mempertahankan harga bensin tetap murah.
Alih-alih diuntungkan oleh bensin murah, kaum miskin pedesaan justru dirugikan. Anggaran yang terpaksa dipakai mensubsidi pengguna bensin tak lagi bisa dipakai membangun infrastruktur pedesaan. Ketika retorika politik menuntut perbaikan kualitas manusia Indonesia, ironis jika kebutuhan pengguna bensin lebih penting daripada kebutuhan akan pemukiman, sekolah, puskesmas, dan rumah sakit.
Pendukung subsidi kerap mencari pembelaan dari status wong cilik pengendara angkutan umum dan bajaj, serta demonstran di Jakarta yang menolak pencabutan subsidi. Seorang rekan, pengamat kemiskinan, menuduh pembelaan seperti ini bias perkotaan. Di pedesaan, kaum miskin boro-boro punya bajaj – naik angkutan pun tak bisa. Kenapa? Tak ada jalanan untuk dilewati.
Benar bahwa pencabutan subsidi bisa berimbas pada kaum miskin, di kota maupun di desa. Namun, ini hanya berarti, pemerintah perlu seksama memperhatikan dampak pencabutan subsidi agar imbasnya minim bagi masyarakat termiskin negeri ini – dan bukan alasan mempertahankan subsidi yang mayoritas penikmatnya sudah mapan!
John Rawls dalam A Theory of Justice pernah menulis:”...hukum-hukum dan institusi-institusi tak peduli betapapun efisien dan rapi tertata harus direformasi dan dicabut jika tidak adil...” Subsidi BBM, terutama untuk bensin, tidak efisien dan tidak adil. Bukankah sudah waktunya ketidakadilan ini direformasi dan dicabut?
1 Comments:
Hello Arya Gaduh,
Waduh udah jadi columnist yah? atau analyst? Kamu udah lulus dari London School of Economic?
Email addressnya apa? Kasi tau dong.
God bless
By SMAK1-1985, at 2/23/2005 04:07:00 pm
Post a Comment
<< Home