Indonesia | Economics

Monday, June 13, 2005

Resensi buku: Jalan berliku mengakhiri kemiskinan

Sepasang buku, yang penulisannya terpaut empat tahun, memberikan nuansa atas upaya pengentasan negara miskin. Versi yang sedikit direvisi dimuat di Kompas, 14 Agustus


The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime. Jeffrey Sachs. Penguin Books, London, 2005, xviii + 396 halaman.

The Elusive Quest for Growth: Economists' Adventures and Misadventures in the Tropics William Easterly. MIT Press, Cambridge, Massachusets, 2002, xiii + 342 halaman.


(, 14 Agustus 2005) Kemiskinan negara berkembang menciptakan sebuah teka-teki. Pasca-Perang Dunia Kedua, seiring terbebasnya banyak negara dari penjajahan, muncul harapan bahwa negara-negara baru yang miskin mampu mengejar ketertinggalannya untuk menjadi makmur seperti negara maju. Maka para pakar pembangunan pun, terutama ekonom, mencari “obat mujarab” mengangkat negara-negara ini dari kemiskinan. Setengah abad kemudian, pencarian belum juga usai.

Yang masih menjadi teka-teki, mengapa sebagian negara miskin tak kunjung mengejar ketertinggalannya? Mengapa, misalnya, kemiskinan turun drastis di Asia Timur namun tidak di sub-Sahara Afrika? Sepasang buku yang penulisannya terpaut empat tahun ini mencoba menjawab teka-teki ini. Satu penuh optimisme, lainnya amat hati-hati; keduanya memberikan gambaran wacana mutakhir pengentasan negara-negara termiskin dunia.

Menolong ‘benua tanpa harapan’

The End of Poverty adalah sang optimis. Jeffrey Sachs, ekonom makro sekaligus aktivis pengampunan utang negara miskin, ingin meyakinkan dunia bahwa kemiskinan dapat diakhiri dua dekade ke depan. “The wealth of the rich world, the power of today’s vast storehouses of knowledge, and the declining fraction of the world that needs help to escape from poverty all make the end of poverty a realistic possibility by the year 2025” (hlm. 3). Kerelaan negara kaya memungkinkan akhir kemiskinan pada 2025.

Sachs bukan pemimpi. Ia tidak berniat memberantas segala bentuk kemiskinan, melainkan hanya bentuknya yang terburuk: kemiskinan absolut (extreme poverty). Dalam kemiskinan absolut, sebuah rumah tangga tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya untuk bertahan hidup. Kemiskinan absolut menciptakan busung lapar serta pelbagai penderitaan dan penyakit yang, dalam dunia modern ini, seharusnya punah sudah. Kemiskinan absolut adalah “jebakan” – mereka yang jatuh ke dalamnya sulit keluar tanpa bantuan orang lain.

Kemiskinan absolut terparah berada di Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika. Titik terang mulai muncul di Asia Selatan, terutama dengan tumbuhnya perekonomian India. Namun, rakyat di Afrika – benua yang, oleh majalah The Economist, dijuluki “the hopeless continent” – terus tenggelam dalam kemiskinan absolut. Para pemerintahnya pun terlalu miskin untuk bisa mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan.

Mengapa? Konon, penyebab miskinnya Afrika adalah pemerintahan yang buruk. Inilah alasan mengapa negara-negara maju enggan membantunya. Namun, menurut Sachs penjelasan ini tidak lengkap: Dibandingkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan dan kualitas pemerintahan serupa, pertumbuhan ekonomi di Afrika tiga persen lebih rendah. Kemiskinan Afrika bukan sekadar soal kualitas pemerintahan, melainkan nasib buruk karena kondisi geografis dan buruknya infrastruktur.

Menggugat negara kaya

Atas dasar ini, Sachs menggugat apatisme negara kaya. Sudah waktunya negara-negara kaya memenuhi janji yang dibuat di Rio De Janeiro 1992 dan Monterrey 2002 untuk menyisihkan 0.7% dari Produk Nasional Bruto (PNB) mereka untuk bantuan luar negeri. Amerika Serikat (AS) adalah pelanggar terberat: pada 2003, hanya 0.15% PNB dialokasikan untuk bantuan luar negeri. Selain itu, Sachs juga menuntut pengampunan utang negara-negara termiskin.

Namun, Sachs pun paham, bantuan negara maju bertepuk sebelah tangan tanpa komitmen negara penerima. Maka, negara penerima pun punya tanggung jawab:

Poor countries have no guaranteed right …to accept development assistance from rich countries. They only have that right if they themselves carry through on their commitments to good governance” (hlm. 269).

Masalahnya, komitmen untuk memerintah dengan baik tidak mudah dibuktikan ketika bantuan diberikan. Sachs hanya sekilas membahas masalah ini; padahal, gugatannya kepada negara kaya hanya akan bermakna jika ia punya rencana konkret mencegah penyalahgunaan bantuan, terutama di Afrika, seperti yang telah terjadi empat dekade terakhir.

Sachs punya kesempatan unik untuk membuktikan usulannya. Baru saja kelompok negara kaya G-7, dalam pertemuan mereka Juni lalu, setuju memotong 55 miliar dolar Amerika utang sebagian negara-negara termiskin Afrika. Akan dapat kita lihat sejauh mana ini akan efektif mengentaskan negara miskin Afrika. Namun, bahkan jauh sebelumnya, seorang ekonom skeptis dengan solusi ini. The Elusive Quest for Growth yang ditulis empat tahun lalu menunjukkan solusi Sachs bukanlah barang baru – dan tidak selalu efektif.

Pertumbuhan dan akumulasi modal

Dalam The Elusive Quest for Growth, William Easterly – seorang pakar ekonomi pembangunan dan mantan ekonom Bank Dunia – menunjukkan bahwa usulan memberantas kemiskinan lewat bantuan negara kaya sudah pernah dicoba sebelumnya. Sayangnya, empat dekade berlalu dan hasilnya nyaris nihil. Bantuan, seberapapun besarnya, bukanlah magic bullet yang mampu memberantas kemiskinan.

Bagi Easterly, seperti juga bagi Sachs dan kebanyakan pakar ekonomi pembangunan, kunci untuk keluar dari kemiskinan jelas: “fast growth went with fast poverty reduction, and overall economic contraction went with increased poverty” (hlm. 13). Pemberantasan kemiskinan berjalan berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya, mengapa di banyak negara, terutama negara-negara di Afrika, pertumbuhan tidak cukup cepat untuk memangkas kemiskinan?

Easterly kritis terhadap pendekatan negara donor maupun organisasi keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan mantan kantornya sendiri, Bank Dunia, mendorong pertumbuhan. Selama ini, mereka cenderung percaya pada “fundamentalisme modal”: bahwa motor pertumbuhan adalah akumulasi modal. Akumulasi modal instan pun diupayakan, antara lain melalui pinjaman ataupun bantuan investasi.

Fundamentalisme yang didasarkan pada teori yang sudah usang ini membutakan mereka dari kenyataan bahwa pinjaman dan bantuan kerap sia-sia. Easterly menunjukkan sebabnya: Teori mutakhir maupun bukti empiris menunjukkan bahwa perbaikan produktivitas, dan bukannya akumulasi modal, yang menjadi sumber utama pertumbuhan berkelanjutan. Investasi mendorong pertumbuhan melalui efeknya terhadap produktivitas, dan bukan pada akumulasi modal.

Menciptakan insentif untuk pertumbuhan

Namun, bagaimana meningkatkan produktivitas untuk pertumbuhan? Secara meyakinkan, Easterly mematahkan satu per satu resep-resep tradisional pertumbuhan: “Neither aid nor investment nor education nor population control nor adjustment lending nor debt forgiveness proved to be the panacea for growth.” (hlm. 143). Investasi, pendidikan, keluarga berencana, bantuan luar negeri, ataupun pengampunan utang – tak satupun manjur memacu pertumbuhan.

Mengapa? Jawabnya ada pada moto resmi buku ini, yang sekaligus adalah jantung ilmu ekonomi modern: “people respond to incentives” – orang meresponi insentif yang diberikan. Untuk memacu pertumbuhan, perlu diciptakan insentif agar setiap pelaku ekonomi, termasuk kaum miskin, melakukan tindakan produktif. Insentif yang tepat tergantung pada kondisi masing-masing negara. Karena itulah, resep generik tak akan manjur: toh, tak semua penyakit bisa sembuh dengan antibiotik.

Resep memacu pertumbuhan hanya manjur jika dimulai dengan identifikasi faktor-faktor yang menghambat peningkatan produktivitas. Bisa jadi, hambatan itu disebabkan oleh nasib buruk dan jebakan kemiskinan mengekang. Namun, yang lebih sering, kebijakan politis yang salah, pemerintah yang korup, atau masyarakat yang terus didera konfliklah penghambatnya. Di paruh kedua buku ini, Easterly membahas setiap topik ini secara mendalam.

Antara Sachs dan Easterly

Bagaimana menilai kedua buku ini? Walaupun seringkali sejalan, membaca dibaca berdampingan, sepasang buku ini memunculkan pertanyaan: Siapa yang benar perihal bantuan dan pengampunan utang? Jika Sachs benar, patut bersyukurlah kita bahwa kampanye pengampunan utang negara miskin telah maju selangkah; namun, jika tidak, kita perlu khawatir ini hanya akan mengulang kesalahan yang sama.

Hati saya yang terdalam ingin agar Sachs-lah yang benar. Namun, sederetan bukti yang diberikan Easterly – didukung, bukan hanya oleh teori dan bukti empiris ekonomi, tetapi juga pengamatan pribadi tentang perekonomian Indonesia – memaksa saya skeptis terhadap “mudah”-nya solusi yang ditawarkan Sachs.

Sachs sebenarnya sadar bantuan tak cukup. Dalam bab bertajuk Clinical Economics, Sachs membandingkan diagnosis ekonomi dengan kedokteran. Usaha memperbaiki ekonomi harus dimulai dengan diagnosis klinis keseluruhan kondisi negara tersebut. “The key to clinical economics is a thorough differential diagnosis, followed by an appropriate treatment regimen.” (hlm. 83). Bantuan dan pengampunan utang tak tentu manjur bagi seluruh negara termiskin Afrika.

Easterly sendiri tidak serta merta menolak bantuan ataupun pengampunan utang. Namun, perlu prasyarat agar keduanya menjadi insentif pertumbuhan bagi penerimanya. Pengampunan utang, misalnya, harus disertai bukti bahwa negara penerima akan menerapkan kebijakan yang baik dan ketegasan para donor bahwa pengampunan utang tidak terjadi lagi (hlm. 136). Jika tidak, sejarah membuktikan, negara yang diampuni akan berutang (dan menyalahgunakan utangnya) lagi.

Terlepas dari kritik ini, kedua buku yang ditulis ekonom kelas dunia ini perlu menjadi konsumsi semua yang peduli pada pengentasan rakyat dari kemiskinan. Dibaca bersama-sama, sepasang buku ini memberikan harapan tanpa menjadi utopis: kemiskinan mungkin memang dapat diakhiri – tetapi, untuk mengakhirinya, takkan semudah membalik telapak tangan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home