Resensi buku: Petualangan bisnis di Negeri China
Buku Mr. China adalah buku tentang petualangan yang mengasyikkan – namun, daripada sekadar fiksi, Mr. China mengandung pelajaran berharga yang patut dicamkan pebisnis manapun yang bermimpi berjaya di Negeri China.
Mr. China: A Wall Street banker, an Englishman, and ex-Red Guard ... and $418,000,000 dissapearing, day by day. Oleh Tim Clissold. Robinson, London, 2004. x + 306 halaman
(Kompas, 24 April 2005) Membaca kisah petualangan memang mengasyikkan. Petualangan yang apik diracik bisa menghanyutkan, membuat cemas kala protagonisnya kesulitan dan puas kala jerih payahnya berakhir kemenangan. Mr. China adalah petualangan yang seperti itu – namun, daripada sekadar fiksi, Mr. China mengandung pelajaran berharga yang patut dicamkan pebisnis manapun yang bermimpi berjaya di Negeri China.
Angan-angan menjinakkan pasar China tidaklah baru. Potensinya yang menggiurkan membuat seorang Carl Crow, distributor obat Amerika menulis dalam 400 Million Customers di tahun 1937: “No matter what you may be selling, your business in China should be enormous, if the Chinese who should buy your goods would only do so.” Namun kerap ini fatamorgana – atau setidaknya bagi Crow: 25 tahun di Shanghai, perusahaannya tak berhasil menjual satu produk pun.
Mr. China adalah kisah lain angan-angan itu. Bermodalkan lebih dari 400 juta dolar Amerika Serikat (AS), tiga petualang – seorang bankir investasi Wall Street, konsultan Inggris, dan seorang lokal – pun bermimpi menjinakkan pasar China. Impian mereka: menciptakan mesin untuk membawa uang dari Wall Street ke China untuk menciptakan bisnis-bisnis produktif yang menguntungkan.
Tak sampai satu dekade kemudian, angan-angan itu – beserta dengan 400 juta dolar – hampir tinggal fatamorgana.
Adalah Tim Clissold, sang penulis, di pusat petualangan. Clissold muda terbuai ‘sihir’ China – sihir yang demikian kuat sehingga ia berani mengambil risiko demi obsesinya. Menyusul perjalanan pertamanya ke China, pemuda Inggris ini melepaskan posisinya di sebuah konsultan besar di London untuk kembali ke Beijing dan belajar tentang China.
Dua tahun kemudian, lebih fasih berbahasa dan tak lagi sepenuhnya buta budaya, ia kembali ke pekerjaan lamanya, untuk ditempatkan di Hong Kong. Eforia investasi ke China di awal 1990-an membuat para pemilik modal menumpuk jutaan dolar untuk ‘Dana-dana China’ di Hong Kong tanpa tahu mau diapakan. Tugas Clissold: mencari proyek-proyek investasi untuk menyerap dana ini.
Upaya pencarian mempertemukan Clissold dengan kedua partnernya: Pat, sang bankir investasi Wall Street dan Ai Jian, mantan pejabat pemerintahan China. Dengan karisma dan pengalamannya di Wall Street, Pat mengumpulkan lebih dari 400 juta dolar dalam waktu singkat. Dalam kurun waktu dua tahun, konsorsium ini berubah dari “tiga orang bertemu di kantor lembab hotel kelas dua” menjadi “perusahaan dengan duapuluh bisnis dan lebih dari duapuluhlima ribu pegawai” (halaman 95).
Tak lama kemudian, masalah pun bermunculan.
Tim Clissold adalah pengamat yang sensitif. Menggambarkan cara Pat meyakinkan para pejabat China, Tim mencatat cara unik Wall Street melihat dunia:
“From [Wall Street], everything seemed so straightforward, just another enormous case study like they do at business school. It was the simplicity that made it all so convincing.” (halaman 45).
Dalam kacamata Wall Street, segala sesuatu bisa direduksi menjadi studi kasus sekolahan. Masalahnya, apa yang akan mereka hadapi kemudian tidak ada di studi kasus sekolah bisnis terbaik di Barat.
Naif terhadap realitas negara berkembang seperti China, Clissold dan kawan-kawan awalnya menggunakan kacamata Wall Street di China. Mereka bersandar pada cara-cara straightforward ala negara-negara Barat: bersandar pada staf ahli asing, kontrak tertulis – dan, tentunya, polisi serta sistem hukum. Namun, pada kenyataanya, semua teknik yang dipelajari di negara maju impoten di China.
Maka impian kejayaan pun berangsur-angsur berubah menjadi mimpi buruk. Problem muncul dimana-mana: mulai dari pekerja yang tidak mau memperbaiki sistem kerja yang buruk, pembelanjaan anggaran seenaknya tanpa perhitungan, sampai dengan penggelapan uang perusahaaan. Upaya menghadapi resistensi ini dengan ‘cara Barat’ – melalui polisi, pengadilan, ataupun otoritas yang ada – bukannya menyelesaikan masalah, melainkan kerap menambah masalah.
Didera masalah bertubi-tubi – apalagi setelah kehilangan lebih dari 15 juta dolar dalam satu kasus saja – kesehatan Clissold ambruk. Dalam proses pemulihan dari sakit itulah ia sadar bahwa masalah di China tidak bisa dihadapi dengan cara Wall Street. Dengan tekad bulat, ia kembali untuk bertempur the Chinese style. Peperangan baru saja dimulai.
Dalam paruh buku selanjutnya, Clissold menuturkan tiga ‘pertempurannya’ memenangkan kembali kendali perusahaan dengan strategi lokal. Penuturannya, di satu pihak, menggambarkan tentang keserakahan, tipu muslihat, serta ambisi untuk menang. Tapi di lain pihak, kisah ini adalah tentang karakter manusia – dan Clissold adalah pengamat yang cukup sensitif, yang tidak terjebak dikotomi hitam-putih, jahat dan baik dalam menggambarkan konflik yang dihadapinya.
Alih-alih, ia menyadari bahwa ini semua adalah soal bertahan hidup di tengah transformasi drastis di China – dan konflik-konflik yang dihadapinya memperlihatkan strategi bertahan yang berbeda-beda. Kearifan pengamatan Clissold inilah yang menjadi nilai tambah bagi Mr. China: lebih dari sekadar kisah tentang petualangan dan kemenangan, buku ini memberikan potret pergumulan manusia kala dihadapkan pada perubahan yang demikian cepat.
Pada akhirnya, tidak semua pertempuran itu mutlak dimenangkan. Namun, mungkin bukan hasil akhir inilah yang terpenting – setidaknya, bagi pembaca seperti saya, yang sudah terpuaskan kala ikut serta memahami proses resolusi konflik itu terlepas dari hasilnya. Bagi yang ingin melihat realitas berbisnis di China, inilah yang lebih penting.
Majalah the Economist menulis berikut tentang iklim bisnis di China:
“...[Navigating] the country's opaque bureaucracy and maze of ever-changing rules, finding trustworthy local partners, understanding that Chinese officials at the highest level believe that foreign firms deserve little in return for their investments, and battling piracy and outright fraud, continue to take up more time, energy and money than in any other major market.”
Kutipan ini tidak berasal dari edisi 1990-an, melainkan dari edisi Agustus 2004. Kisah Clissold belumlah lagi usang, apalagi di tengah kenyataan bahwa eforia investasi ke China belum pula usai.
Di tengah eforia inilah pengalaman Clissold dalam Mr. China, di satu pihak, menjadi amat berharga bagi para pebisnis Indonesia. Dalam peribahasa Dinasti Han: “Jika Anda tidak mau masuk ke sarang macan, bagaimana bisa Anda mendapatkan anak-anaknya?” – dan tersesat di sarang singa, fatal akibatnya. Mr. China dapat menjadi panduan awal penjelajahan ke “sarang singa”.
Di lain pihak, membaca Mr. China bagaikan bercermin negeri sendiri. Mudah mencari analogi pengalaman yang diceritakan buku ini dengan pengalaman para pebisnis Indonesia. Dalam beberapa kasus, bahkan, perilaku pebisnis, birokrat, dan pemerintah Indonesia bisa lebih “menakutkan”.
Pengalaman Mr. China seharusnya memicu perbaikan iklim investasi dalam negeri, terutama di daerah. Tak terhindarkan, dalam satu atau dua dekade ke depan, China akan berkembang menjadi primadona investasi sekaligus macan Asia. Namun Mr. China memperlihatkan betapa China masih perlu berbenah diri – sesuatu yang sulit dan butuh waktu bagi negara sentralistik sebesar itu.
Masa berbenah ini harus dipakai dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Jika tidak, jangan kaget kalau anak macan ini terlanjur tumbuh besar, melahap investasi-investasi produktif sembari menyisakan yang kurang produktif bagi Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Jika saat itu tiba, maka semua akan sudah terlambat.
Catatan: Tak lama setelah dimuat di blog ini pada 26 Maret 2005, akhirnya Kompas memuat tulisan ini pada edisi 24 April - tanpa tiga paragraf terakhir.
Postscript: Investor RI merasa tertipu di China (Kompas, 29 April 2005)
Mr. China: A Wall Street banker, an Englishman, and ex-Red Guard ... and $418,000,000 dissapearing, day by day. Oleh Tim Clissold. Robinson, London, 2004. x + 306 halaman
(Kompas, 24 April 2005) Membaca kisah petualangan memang mengasyikkan. Petualangan yang apik diracik bisa menghanyutkan, membuat cemas kala protagonisnya kesulitan dan puas kala jerih payahnya berakhir kemenangan. Mr. China adalah petualangan yang seperti itu – namun, daripada sekadar fiksi, Mr. China mengandung pelajaran berharga yang patut dicamkan pebisnis manapun yang bermimpi berjaya di Negeri China.
Angan-angan menjinakkan pasar China tidaklah baru. Potensinya yang menggiurkan membuat seorang Carl Crow, distributor obat Amerika menulis dalam 400 Million Customers di tahun 1937: “No matter what you may be selling, your business in China should be enormous, if the Chinese who should buy your goods would only do so.” Namun kerap ini fatamorgana – atau setidaknya bagi Crow: 25 tahun di Shanghai, perusahaannya tak berhasil menjual satu produk pun.
Mr. China adalah kisah lain angan-angan itu. Bermodalkan lebih dari 400 juta dolar Amerika Serikat (AS), tiga petualang – seorang bankir investasi Wall Street, konsultan Inggris, dan seorang lokal – pun bermimpi menjinakkan pasar China. Impian mereka: menciptakan mesin untuk membawa uang dari Wall Street ke China untuk menciptakan bisnis-bisnis produktif yang menguntungkan.
Tak sampai satu dekade kemudian, angan-angan itu – beserta dengan 400 juta dolar – hampir tinggal fatamorgana.
***
Adalah Tim Clissold, sang penulis, di pusat petualangan. Clissold muda terbuai ‘sihir’ China – sihir yang demikian kuat sehingga ia berani mengambil risiko demi obsesinya. Menyusul perjalanan pertamanya ke China, pemuda Inggris ini melepaskan posisinya di sebuah konsultan besar di London untuk kembali ke Beijing dan belajar tentang China.
Dua tahun kemudian, lebih fasih berbahasa dan tak lagi sepenuhnya buta budaya, ia kembali ke pekerjaan lamanya, untuk ditempatkan di Hong Kong. Eforia investasi ke China di awal 1990-an membuat para pemilik modal menumpuk jutaan dolar untuk ‘Dana-dana China’ di Hong Kong tanpa tahu mau diapakan. Tugas Clissold: mencari proyek-proyek investasi untuk menyerap dana ini.
Upaya pencarian mempertemukan Clissold dengan kedua partnernya: Pat, sang bankir investasi Wall Street dan Ai Jian, mantan pejabat pemerintahan China. Dengan karisma dan pengalamannya di Wall Street, Pat mengumpulkan lebih dari 400 juta dolar dalam waktu singkat. Dalam kurun waktu dua tahun, konsorsium ini berubah dari “tiga orang bertemu di kantor lembab hotel kelas dua” menjadi “perusahaan dengan duapuluh bisnis dan lebih dari duapuluhlima ribu pegawai” (halaman 95).
Tak lama kemudian, masalah pun bermunculan.
***
Tim Clissold adalah pengamat yang sensitif. Menggambarkan cara Pat meyakinkan para pejabat China, Tim mencatat cara unik Wall Street melihat dunia:
“From [Wall Street], everything seemed so straightforward, just another enormous case study like they do at business school. It was the simplicity that made it all so convincing.” (halaman 45).
Dalam kacamata Wall Street, segala sesuatu bisa direduksi menjadi studi kasus sekolahan. Masalahnya, apa yang akan mereka hadapi kemudian tidak ada di studi kasus sekolah bisnis terbaik di Barat.
Naif terhadap realitas negara berkembang seperti China, Clissold dan kawan-kawan awalnya menggunakan kacamata Wall Street di China. Mereka bersandar pada cara-cara straightforward ala negara-negara Barat: bersandar pada staf ahli asing, kontrak tertulis – dan, tentunya, polisi serta sistem hukum. Namun, pada kenyataanya, semua teknik yang dipelajari di negara maju impoten di China.
Maka impian kejayaan pun berangsur-angsur berubah menjadi mimpi buruk. Problem muncul dimana-mana: mulai dari pekerja yang tidak mau memperbaiki sistem kerja yang buruk, pembelanjaan anggaran seenaknya tanpa perhitungan, sampai dengan penggelapan uang perusahaaan. Upaya menghadapi resistensi ini dengan ‘cara Barat’ – melalui polisi, pengadilan, ataupun otoritas yang ada – bukannya menyelesaikan masalah, melainkan kerap menambah masalah.
Didera masalah bertubi-tubi – apalagi setelah kehilangan lebih dari 15 juta dolar dalam satu kasus saja – kesehatan Clissold ambruk. Dalam proses pemulihan dari sakit itulah ia sadar bahwa masalah di China tidak bisa dihadapi dengan cara Wall Street. Dengan tekad bulat, ia kembali untuk bertempur the Chinese style. Peperangan baru saja dimulai.
***
Dalam paruh buku selanjutnya, Clissold menuturkan tiga ‘pertempurannya’ memenangkan kembali kendali perusahaan dengan strategi lokal. Penuturannya, di satu pihak, menggambarkan tentang keserakahan, tipu muslihat, serta ambisi untuk menang. Tapi di lain pihak, kisah ini adalah tentang karakter manusia – dan Clissold adalah pengamat yang cukup sensitif, yang tidak terjebak dikotomi hitam-putih, jahat dan baik dalam menggambarkan konflik yang dihadapinya.
Alih-alih, ia menyadari bahwa ini semua adalah soal bertahan hidup di tengah transformasi drastis di China – dan konflik-konflik yang dihadapinya memperlihatkan strategi bertahan yang berbeda-beda. Kearifan pengamatan Clissold inilah yang menjadi nilai tambah bagi Mr. China: lebih dari sekadar kisah tentang petualangan dan kemenangan, buku ini memberikan potret pergumulan manusia kala dihadapkan pada perubahan yang demikian cepat.
Pada akhirnya, tidak semua pertempuran itu mutlak dimenangkan. Namun, mungkin bukan hasil akhir inilah yang terpenting – setidaknya, bagi pembaca seperti saya, yang sudah terpuaskan kala ikut serta memahami proses resolusi konflik itu terlepas dari hasilnya. Bagi yang ingin melihat realitas berbisnis di China, inilah yang lebih penting.
***
Majalah the Economist menulis berikut tentang iklim bisnis di China:
“...[Navigating] the country's opaque bureaucracy and maze of ever-changing rules, finding trustworthy local partners, understanding that Chinese officials at the highest level believe that foreign firms deserve little in return for their investments, and battling piracy and outright fraud, continue to take up more time, energy and money than in any other major market.”
Kutipan ini tidak berasal dari edisi 1990-an, melainkan dari edisi Agustus 2004. Kisah Clissold belumlah lagi usang, apalagi di tengah kenyataan bahwa eforia investasi ke China belum pula usai.
Di tengah eforia inilah pengalaman Clissold dalam Mr. China, di satu pihak, menjadi amat berharga bagi para pebisnis Indonesia. Dalam peribahasa Dinasti Han: “Jika Anda tidak mau masuk ke sarang macan, bagaimana bisa Anda mendapatkan anak-anaknya?” – dan tersesat di sarang singa, fatal akibatnya. Mr. China dapat menjadi panduan awal penjelajahan ke “sarang singa”.
Di lain pihak, membaca Mr. China bagaikan bercermin negeri sendiri. Mudah mencari analogi pengalaman yang diceritakan buku ini dengan pengalaman para pebisnis Indonesia. Dalam beberapa kasus, bahkan, perilaku pebisnis, birokrat, dan pemerintah Indonesia bisa lebih “menakutkan”.
Pengalaman Mr. China seharusnya memicu perbaikan iklim investasi dalam negeri, terutama di daerah. Tak terhindarkan, dalam satu atau dua dekade ke depan, China akan berkembang menjadi primadona investasi sekaligus macan Asia. Namun Mr. China memperlihatkan betapa China masih perlu berbenah diri – sesuatu yang sulit dan butuh waktu bagi negara sentralistik sebesar itu.
Masa berbenah ini harus dipakai dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Jika tidak, jangan kaget kalau anak macan ini terlanjur tumbuh besar, melahap investasi-investasi produktif sembari menyisakan yang kurang produktif bagi Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Jika saat itu tiba, maka semua akan sudah terlambat.
Catatan: Tak lama setelah dimuat di blog ini pada 26 Maret 2005, akhirnya Kompas memuat tulisan ini pada edisi 24 April - tanpa tiga paragraf terakhir.
Postscript: Investor RI merasa tertipu di China (Kompas, 29 April 2005)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home