Mengimbau hemat BBM lewat harga
Akhir-akhir ini, muncul ribut-ribut soal krisis stok bahan bakar minyak (BBM) yang konon hanya tinggal 12 hari (kemudian jadi 17,5 hari - dan terakhir 22 hari). Wakil Presiden mengimbau, menteri mengimbau agar masyarakat hemat BBM. Tak sulit menebak bahwa imbauan ini akan tidak efektif. Ekonom menawarkan instrumen termudah mengimbau hemat: harga
Akhir tahun 1970an, kala Indonesia masih bisa merasakan nikmatnya harga minyak dunia yang tinggi, Amerika sudah termasuk yang berkeluh-kesah karena lonjakan harga minyak. Kendaraan antri SPBU, sampai setengah jam lebih, untuk mendapatkan BBM pada harga yang dipatok pemerintah.
Steven Landsburg, dalam The Armchair Economist kala itu mencatat: " Virtually all economists agreed that if the price [of gasoline] were allowed to rise freely, people would buy less gasoline. Many noneconomists believed otherwise." Ternyata, prediksi ekonom terbukti: " When price controls were lifted, the [waiting] lines dissapeared."
Krisis stok BBM terjadi karena satu hal: harga BBM dalam negeri tidak mencerminkan kelangkaannya. Karena kelangkaan, pemerintah mengimbau penghematan. Namun, agar imbauan efektif, perlu prasyarat - kalau tidak, sulit membuat imbauan pemerintah ini menjadi sesuatu yang manjur (Kenapa? Nantikan di tulisan selanjutnya...). Lagipula, ada cara mudah-efektif untuk menangani krisis stok BBM: biarkan harga mencerminkan kelangkaannya. Atau, dengan kata lain, biarkan harga BBM naik maka krisis stok akan segera terselesaikan.
Ini usulan yang, walaupun hampir semua ekonom setuju, akan kontroversial secara politik - terutama karena ada kecenderungan politisasi kenaikan harga BBM. Tapi, pengalaman Maret kemarin menunjukkan bahwa dampak pencabutan subsidi tidak memberikan dampak sedramatis yang dibayangkan para demonstran anti-BBM, baik kepada ekonomi makro maupun yang miskin.
Akhir tahun 1970an, kala Indonesia masih bisa merasakan nikmatnya harga minyak dunia yang tinggi, Amerika sudah termasuk yang berkeluh-kesah karena lonjakan harga minyak. Kendaraan antri SPBU, sampai setengah jam lebih, untuk mendapatkan BBM pada harga yang dipatok pemerintah.
Steven Landsburg, dalam The Armchair Economist kala itu mencatat: " Virtually all economists agreed that if the price [of gasoline] were allowed to rise freely, people would buy less gasoline. Many noneconomists believed otherwise." Ternyata, prediksi ekonom terbukti: " When price controls were lifted, the [waiting] lines dissapeared."
Krisis stok BBM terjadi karena satu hal: harga BBM dalam negeri tidak mencerminkan kelangkaannya. Karena kelangkaan, pemerintah mengimbau penghematan. Namun, agar imbauan efektif, perlu prasyarat - kalau tidak, sulit membuat imbauan pemerintah ini menjadi sesuatu yang manjur (Kenapa? Nantikan di tulisan selanjutnya...). Lagipula, ada cara mudah-efektif untuk menangani krisis stok BBM: biarkan harga mencerminkan kelangkaannya. Atau, dengan kata lain, biarkan harga BBM naik maka krisis stok akan segera terselesaikan.
Ini usulan yang, walaupun hampir semua ekonom setuju, akan kontroversial secara politik - terutama karena ada kecenderungan politisasi kenaikan harga BBM. Tapi, pengalaman Maret kemarin menunjukkan bahwa dampak pencabutan subsidi tidak memberikan dampak sedramatis yang dibayangkan para demonstran anti-BBM, baik kepada ekonomi makro maupun yang miskin.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home