Indonesia | Economics

Saturday, July 15, 2006

Bukan salah kebijakannya, tapi ...

Kompas hari ini tentang kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas):

Mulai tahun ajaran 2006/2007, para guru jenjang SD-SLTA dipersilakan mengembangkan kurikulum di sekolah masing-masing dengan mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan hasil rumusan Badan Standar Nasional Pendidikan atau BSNP.

Kebijakan yang baik? Mungkin. Namun ada baiknya simak dulu kutipan yang diterjemahkan dari buku Indonesian Education ini...:

Guru-guru di Indonesia tidak melihat diri mereka sebagai agen pembawa perubahan; mereka tidak menjadi guru untuk itu... Peran pengajar sebagai pegawai negeri lebih ditekankan daripada peran sebagai pendidik, dan kesempatan seorang guru untuk membentuk kebijakan dan praktik di sekolah terbatas. Kepatuhan dan bukannya inisiatif-lah yang dihargai.(hal. 110 – untuk melihatnya dalam konteks, lihat entry ini)

Sebelum mental guru yang seperti ini diubah, sulit membayangkan bahwa kebijakan ini akan berhasil memberdayakan independensi sekolah.

Saya khawatir jika kebijakan ini gagal seperti juga kebijakan Kurikulum Muatan Lokal (dan, melihat belum berubahnya pendekatan Depdiknas, kemungkinan besar begitu), kesimpulan yang diambil adalah bahwa desentralisasi pendidikan tidak sesuai dengan konteks Indonesia.

Padahal, alih-alih kebijakannya yang salah, masalahnya ada pada pendekatan pemerintah yang: a) menganggap remeh luka parut sistem top-down Orde Baru pada mentalitas para guru, seperti tercermin dalam kutipan di atas; dan b) tidak memberikan isyarat sepenuh hati akan dukungannya pada desentralisasi pendidikan.

Sebagai akibat pendekatan (a), pemerintah cenderung menganggap independensi guru sebagai masalah teknis semata, sehingga upaya menerapkan kebijakan desentralisasi (seperti yang terjadi pada Kurikulum Muatan Lokal) hanya sejauh memberikan pelatihan teknis. Problem di luar soal teknis (terutama soal mentalitas tadi), jarang disentuh.

Sementara (b) ini tercermin dalam kontroversi ujian nasional (UN). Sistem evaluasi yang menyatakan UN sebagai penentu satu-satunya kelulusan, misalnya, mengirimkan isyarat bahwa pemberian hak pada guru untuk menyusun kurikulum tidak disertai dengan hak untuk mengevaluasi kinerja murid-muridnya berdasarkan kurikulum tersebut. Jika begitu, jangan heran jika guru tidak antusias akan kebijakan seperti ini, dan menganggapnya sekadar anggur lama dalam wadah yang baru.

Sayangnya, Depdiknas agaknya belum memikirkan cara untuk menuntaskan ketidakkonsistenan internal dalam kebijakannya sendiri:

Akan tetapi, para pejabat tersebut menolak memberikan penjelasan ketika wartawan mencoba mengomentari bahwa penghargaan terhadap otonomi guru tersebut bertolak belakang dengan mekanisme ujian nasional yang membuat guru tidak berdaya dalam menentukan kelulusan siswa. "Akan ada sesi tersendiri untuk menjelaskan hal itu," ujar Mansyur Ramly.

Semoga ini berarti Depdiknas akan melakukan evaluasi internal dan memberikan isyarat keseriusannya untuk mendukung desentralisasi – alih-alih melemparkan kesalahan pada pihak lain (seperti ini, misalnya). Jika tidak, semoga wartawan tidak henti-hentinya mencecar Depdiknas untuk menjelaskan resolusi atas ketidakkonsistenan isyarat yang diberikan bagi para guru yang, konon, ingin Depdiknas berdayakan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home