Indonesia | Economics

Tuesday, July 25, 2006

Burn the math

Yesterday, in an interview for a scholarship, one of the panelists asked where I stood, as a professional economist in Indonesia, on economics’s orientation towards mathematical models. I answered something along the line of Marshall’s “burn-the-math” approach. But what is Marshall’s “burn-the-math” approach?

In March 1901, Alfred Marshall – a great economist, author of Principles of Economics, who certainly knew his math very well – wrote to Arthur Bowley, a former student, of his philosophy on approaching an economic problem:

    1. Use mathematics as a shorthand language rather than as an engine of inquiry;
    2. Keep to them till you have done;
    3. Translate into English;
    4. Then illustrate by examples that are important in real life;
    5. Burn the mathematics
    6. If you can’t succeed in (4) burn (3).
      This last I did often.
Truth be told, this philosophy needs to be strongly qualified: Economic theorists would argue, many advances in economics come about in the absence of step (4). But, without a doubt, it's a sound advice for economists intending on participating fruitfully in the public sphere.

3 Comments:

  • Sekedar curhat:) Ini juga yg jadi pertanyaan saya, kenapa skrg ekonomi itu sarat dgn matematika ya? Dan kecenderungan pemenang nobel ekonomi karyanya sarat dgn matematika, dan di dominasi oleh orang2x dari AS yg di fakultas ekonominya penekanannya ke matematika dan operation research. Mereka juga dgn bangga bilang bahwa universitas2x di eropa pun mengikuti langkah mereka utk memberikan penekanan ke math.

    Ada yg bilang, matematika itu bahasa yg universal jadi lebih bisa di pahami oleh semua orang, tapi kenyataannya Karush pun baru dapat pengakuan lama setelah Kuhn Tucker utk sesuatu hal yg sama yg dia temukan lebih dulu dsb. Ekonom Robert Heilbroner berpendapat kalo dgn terlalu fokus ke matematika, kita kehilangan visi yg lebih besar, contohnya Adam Smith bukunya nggak ada matematikanya.
    Mana yg lebih bagus lebih ke philosphy atau mathematics? Nggak tahu juga tapi bagi saya (yg kgk suka matematik) dgn math saya bisa bilang bener juga kata agama, kita harus melihat ke alam setelah melihat dynamic analysisnya ekonomi yg mirip sama fluid mechanics.

    By Anonymous Anonymous, at 7/26/2006 11:18:00 am  

  • Be:
    Setelah dikuasai, memang lebih mudah membangun teori di atas Bahasa Matematika spesifiknya bahasa tersebut. Bahasa non-matematika sarat makna ganda, sehingga butuh kemampuan logika yang amat kuat untuk membuat teori tanpa matematika.

    Justru di sinilah paradoksnya. Bahwa lebih sedikit yang bisa seperti Adam Smith yang membuat teori tanpa matematika dibandingkan Joe Stiglitz menunjukkan betapa yang pertama ini jauh lebih sulit.

    Inilah sebabnya, menurut saya, ekonomi lebih memilih matematika.

    PS: Lihat di sini untuk artikel menarik tentang pergeseran paradigma ilmu ekonomi.

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/26/2006 05:30:00 pm  

  • Arya: Terima kasih atas artikelnya.
    Dasar saya bicara ini karena banyak yg saya temui orang2x yg masuk ke econ dept tapi dgn latar blkg tidak ada math atau kalaupun ada sdh lama sekali, banyak praktisi bukan peneliti dan di ke depan pun mayoritas merekapun akan melanjutkan ke bidang pekerjaan mereka sblmnya yg juga nggak ketemu math, tapi mereka butuh ngerti soal econ, utk memajukan karir ato pershnya (msh bnyk juga lho CFO2x persh gede, malah berskala international yg nggak ngerti konsep "marginal"). Nah dgn penekanan pada math ini byk yg membuat mereka ketakutan, khan sayang menurut saya kalo orang ampe hilang interest gara2x math doang.

    By Anonymous Anonymous, at 7/27/2006 08:12:00 am  

Post a Comment

<< Home