Lagi-lagi, nonsens Kwik Kian Gie
Intelektual publik, menurut Paul Krugman, dibutuhkan untuk membantai ide yang buruk dan memastikannya tidak kembali lagi. Ini tidak mudah memang – apalagi karena ide buruk kerap diusung tokoh-tokoh yang begitu antusias membela idenya tersebut. Kwik Kian Gie, misalnya.
Di opini Kompas hari Selasa lalu (1/8), lagi-lagi ia mengemukakan ide buruk yang cukup lama mengendap: Bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) bukan uang keluar dari anggaran pemerintah. Ide ini pernah saya bantah di Bisnis Indonesia (dan bisa dilihat di sini), namun toh, seperti malaria, ide ini kembali dan kembali lagi. Argumen saya:
Saya semakin tidak paham dengan manuver Kwik. Buat saya, hanya ada dua penjelasan di balik artikel tersebut.
Pertama, Kwik benar-benar tidak memahami konsep ”opportunity loss”. Jika demikian, nalar ekonomi Kwik patut diragukan. Namun, penjelasan ini sulit dipercaya: Sukses bisnis Kwik menunjukkan bahwa dia paham betul konsep ini. Kemungkinan kedua, Kwik sebenarnya paham, namun karena satu dan lain hal, mencoba menyebarkan ide yang tak sesuai nalar dia. Jika ini benar, ini berarti dia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (politik?)-nya, sehingga alih-alih nalar ekonomi, integritas dialah yang patut dipertanyakan.
Apapun penjelasannya, satu hal jelas keliru pada artikel Kompas tersebut. Di akhir tulisan, tercantum ”Kwik Kian Gie, ekonom”. Seharusnya: ”Kwik Kian Gie, politisi”.
Di opini Kompas hari Selasa lalu (1/8), lagi-lagi ia mengemukakan ide buruk yang cukup lama mengendap: Bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) bukan uang keluar dari anggaran pemerintah. Ide ini pernah saya bantah di Bisnis Indonesia (dan bisa dilihat di sini), namun toh, seperti malaria, ide ini kembali dan kembali lagi. Argumen saya:
Sekilas, pengertian [subsidi bukan uang keluar] ini masuk akal. Namun...kita perlu mencermati asumsi implisit yang dipakai dalam analisis tersebut: bahwa aset alami yang bernama BBM itu gratis - atau, dalam istilah ekonomi, memiliki nilai ekonomi nol. Inilah kekeliruan mendasar analisis tadi.
Untuk memahaminya, bayangkan Anda mendapatkan warisan dalam bentuk 10 batang emas 100 gram. Untuk memudahkan, anggap bahwa harga pasar emas adalah Rp100.000 per gram (atau Rp10 juta per batang)...[Jika] satu batang emas dijual seharga Rp1 juta, apakah Anda keluar uang? Jika, seperti di atas, nilai ekonomi sebatang emas dianggap nol, maka tidak - Anda tidak mengeluarkan sepeser pun.
Namun tidak perlu ekonom untuk menunjukkan kelirunya analisis ini: jelas bahwa meski mendapatkan Rp1 juta, Anda kehilangan sebatang emas seharga Rp10 juta. Dengan kata lain, Anda "keluar uang" sebesar perbedaan harga pasar dan harga jual, yakni Rp9 juta.
Saya semakin tidak paham dengan manuver Kwik. Buat saya, hanya ada dua penjelasan di balik artikel tersebut.
Pertama, Kwik benar-benar tidak memahami konsep ”opportunity loss”. Jika demikian, nalar ekonomi Kwik patut diragukan. Namun, penjelasan ini sulit dipercaya: Sukses bisnis Kwik menunjukkan bahwa dia paham betul konsep ini. Kemungkinan kedua, Kwik sebenarnya paham, namun karena satu dan lain hal, mencoba menyebarkan ide yang tak sesuai nalar dia. Jika ini benar, ini berarti dia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (politik?)-nya, sehingga alih-alih nalar ekonomi, integritas dialah yang patut dipertanyakan.
Apapun penjelasannya, satu hal jelas keliru pada artikel Kompas tersebut. Di akhir tulisan, tercantum ”Kwik Kian Gie, ekonom”. Seharusnya: ”Kwik Kian Gie, politisi”.
6 Comments:
Padahal mungkin opportunity cost adalah konsep dasar paling penting di ilmu ekonomi. Economics illiteracy ini mengganggu sekali, apalagi media sering menelan mentah-mentah. Kudos untuk anda yang sudah berusaha melawan/membetulkan. Kalau saya diminta untuk menyumbang satu target MDG, saya akan usulkan untuk menghapus economics illiteracy. Misalnya, pada tahun 2020, semua luluan SMU sudah harus menguasi konsep "opportunity cost" dan "market equilibrium". Penguasaan konsep-konsep dasar ekonomi harus dianggap kemampuan dasar seperti mebaca, menulis, dan berhitung. Penekanan saya adalah pada pada penguasaan konsep dasar, bukan bahwa semua orang harus jadi ekonom. Sekarang ini kebetulan sedang ramai dibahas mengapa ekonom menulis blog. Mungkin kalau saya ditanya, saya jawab untuk memerangi economics illiteracy.
By Ujang, at 8/04/2006 11:58:00 am
Saya rasa KKG bukannya nggak ngerti konsep opprtunity cost tapi kalo nggak salah nangkep (walaupun saya juga termasuk yg anti subsidi), yg KKG serang itu adalah kebijakan pemerintah export dan mengimport minyak. Mungkin dia melihat ke negara spt Saudi dan Venezuela yg menerapkan harga minyak domestik berdasarkan extraction cost sampe jadi BBM saja.
By Anonymous, at 8/04/2006 04:27:00 pm
Ujang: Itulah alasan saya menulis blog, tapi it's an uphill battle.
Sekadar contoh, dalam sebuah forum, "ekonom" UGM, Revrisond Bawsir mengkritik pendidikan ilmu yang ekonomi di universitas sebagai "neoliberal". Kenapa? Karena pendidikan ekonomi mulai dari supply dan demand.
Jika dosen ilmu ekonomi saja menganggap supply dan demand sebagai konstruksi ideologi, bayangkan betapa sulitnya meyakinkan orang awam.
Ini semakin sulit karena media pun banyak yang buta ekonomi dan lebih tertarik pada populisme. Dua yang lumayan adalah Jakarta Post dan Koran Tempo. Kompas walaupun sedikit membaik, tetap buruk – terutama pada halaman op-ed.
Babe: Kalau benar apa yang Anda katakan, KKG punya masalah integritas. KKG menulis: "Kalaupun mau berpikir dalam arti 'rugi', ruginya itu opportunity loss, bukan real cash money loss".
Jika ia mengerti konsep itu, seharusnya ia juga tahu bahwa opportunity loss adalah real loss. Jika benar dia mengerti, kalimat di atas tidak ditulis dengan nurani yang bersih.
Jika ini basis argumen dia menentang ekspor-import, argumen itu menjadi absurd, karena didasarkan pada basis yang keliru.
By Arya Gaduh, at 8/04/2006 10:21:00 pm
Soal opportunity cost ini sering juga di temui juga dari business plannya para bos2x yg mau mencoba bisnis dgn meninggalkan kerjaannya. Kalo di bilang harusnya gaji dari kerjaan yg di tinggalin di masukin juga dong ke new business plannya, mereka sering nggak mau, nanti nggak keliatan menarik lagi jadinya, toh tabungannya udah banyak juga kalo utk idup. Saya rasa demikian juga dgn KKG waktu menjual idenya agar menarik:)
Kalo di jawa itu adalah istilah "bener" dan "pener". "Bener" itu adalah sesuatu yg benar sedangkan "pener" itu merupakan sesuatu yg benar-benar sebenarnya. "Bener" memang tidak sebenar "pener":)
Pendidikan ekonomi dimulai dari Supply and Demand: Kalo nggak salah tahun lalu (saat rame2x komentarnya Lawrence Summers ttg minimnya partisipasi wanita di science) saya sempet baca juga ada artikel dari feminist economist yg mengkritisi soal ini juga dan bilang kalo teori2x ekonomi terlalu maskulin, mumgkin bisa di bahas juga lain kali ini mas karena saya juga udah nggak tahu kemana dan dimana artikel itu:(
By Anonymous, at 8/05/2006 11:56:00 am
1. Yang dipermasalahkan adalah betapa berbohongnya peemrintah kalau bilang subsidi BBM bengkak sehingga negara hancur. Kalo pemerintah (dan ekonomnya) jujur, bahwa yang terjadi adalah mengoptimalkan penjualan BBM agar "keuntungannya bisa dipergunakan untuk kemakmuran rakyat di bidang yang lain" lain masalahnya! Kita bisa berdebat soal, bagaimana caranya yang efektif, cara pemerintah efektif atau tidak? kan begitu? dalam debat di Metro antara JK, Habibie dan Amien Rais, JK akhirnya mau mengakui bahwa bukan soal subsidi yang memberatkan BBM, itu setelah didesak oleh Amien rais. Jadi Pemerintah memang berbohong! Integritas pemerintah yang diragukan.
2. Its OK bahwa ekonom menganggap bahwa loss opportunity adalah real loss, sambil mencibir bahwa KKG bukan "ekonom" tapi "politikus", dan "ekonom yang sejati" boleh bangga dengan teori2nya. "ekonom sejati" akan keukeuh bahwa teorinya selalu benar dalam kondisi apapun. Saya tidak melihat kemuliaan "ekonom" lebih dari "politikus" . yang saya tidak habis mengerti, di tengah rakyat yang megap2, para "ekonom sejati" demi teorinya, menganjurkan negara untuk berdagang dengan rakyat, berbisnis dengan rakyat...
3. Analogi emas warisan dengan BBM itu menjijikkan, emas temuan adalah milik pribadi orang per orang, tidak sama dengan BBM yang milik rakyat. loss opportunity itu untuk komoditi privat. Kalau sudah begitu, buat apa UUD pasal 33 mengkhususkan "bumi air dan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak? Ternyata argumentasi anda setelah saya bolak balik artikel anda cuma analogi aneh BBM dengan emas temuan seseorang, dimana ilmiahnya?
4. Kalo pemerintah sudah mau jujur, dan ngotot mau berbisnis untung dengan rakyat, maka rakyat cuma bisa pasrah, ya kita lihat, apa yang dijanjikan pemerintah sebagai barternya dengan rakyat? BLT? bagaimana efektivitasnya? apakah tepat sasaran? apakah tercapai tujuannya untuk mensejahterakan rakyat miskin? bagaimana akibatnya ke inflasi, harga barang, industri kecil, tarif listrik, sampai bunuh diri masal??? Jika semuanya tidak bisa dipastikan, kenapa harus memaksakan diri "mengelola BBM dengan membisniskannya ke rakyat dengan alasan keuntungan hasil bisnisnya dikembalikan kepada rakyat"? Kenapa harus memaksakan diri? Agar bisa menstok dana untuk pemilu 2009 kah?
5. Apakah Kwik Kian Gie dan Revrison Baswir sebegitu bodohnya tidak tahu konsep dasar opportunity loss? sebetulnya masalahnya bukan pada sah tidaknya loss opportunity, tapi pada kenyataan bahwa loss opportunity itu hanya ada di atas kertas dalam hal BBM ini, dan disinilah ekonomi neo liberalnya! Gara2 akun loss opportunity itu harus dimasukkan ke dalam APBN (di atas kertas), seolah2 negara bisa bangkrut dan keluar banyak, padahal tidak! Tentu saja rakyat yang bukan ekonom, dan para “ekonom sejati”tidak menerangkannya kepada masyarakat, mereka tidak tahu. Sudahlah, kenyataannya ini liberalisme, kenapa anda tidak mau mengakui?
6. Apakah pengorbanan rakyat itu perlu? Tentu saja itu perlu, rakyat memang harus dipaksa berhemat, harus mulai sadar bahwa BBM tidak tak terbatas. Itu semua benar, tapi tak perlu kuliah ekonomi untyuk menjadi ekonom sejati untuk tahu bahwa dampak dari semua ini adalah harga beras naik, tarif dasar listrik naik, industri kecil tewas… dan ini tidak ada kaitannya dengan rakyat harus dipaksa berhemat dan sadar energi! Jika pengorbanan rakyat itu perlu, pengorbanannya kenapa dan untuk apa?
7. Apakah harga minyak ini masalah supply and demand? Bagaimana kalau anda menulis soal kenapa harga minyak dunia naik, dengan jujur tentunya. Jika secara riil ini tak ada hubungannya dengan pengeluaran pemerintah, para ekonom sejati yang bukan politisi seperti Kwik Kian Gie dan Revrison Baswir silahkan menerangkan kepada rakyat, bahwa harga minyak dunia naik karena kita menganut ekonomi liberal, kemudian harga BBM dalam negeri harus naik demi ilmu ekonomi yang dipelajari ekonom sejati bahwa loss opportunity minyak harus dianggap sebagai riil loss sehingga harus dibuatkan satu kolomnya di APBN kita.
Wassalam.
priyodjatmiko@pertamina.com, insinyur, bukan ekonom politisi, apalagi "ekonom sejati"
By priyodjatmiko, at 5/16/2008 01:49:00 am
Priyodjatmiko:
Respons saya di sini.
By Arya Gaduh, at 5/16/2008 07:31:00 am
Post a Comment
<< Home