Resensi buku: Mendalamkan analisis peran IMF di Indonesia
Resensi tentang sebuah buku baru, IMF: Penanganan krisis dan Indonesia pasca-IMF oleh Cyrillus Harinowo. (24 Juli 2004, Kompas).
Kita semua telah mendengar tentang Dana Moneter Internasional (IMF). Enam tahun di Indonesia, IMF hanya memperparah krisis dan membebani negara dengan utang yang lebih besar. IMF hanyalah instrumen imperialis negara-negara maju, terutama Amerika, dan dikuasai antek-antek Yahudi. Maka, patutlah dikumandangkan semangat ‘go to hell with the IMF!’ di Indonesia. Namun, benarkah demikian?
Cyrillus Harinowo, salah seorang kandidat pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) 2003 lalu yang lekat dengan pengelolaan aspek moneter selama krisis, tidak setuju. Buku terbarunya, IMF: Penanganan krisis dan Indonesia pasca-IMF (IMF-PKIP), menolak analisis dangkal, hitam-putih tentang peran ekonomi IMF yang kerap dimunculkan politisi maupun media massa. Penolakan pendangkalan ini menjadikan IMF-PKIP sebuah referensi berharga bagi pengamat, sejarawan, maupun mahasiswa ekonomi Indonesia.
Cyrillus memang dekat dengan penanganan krisis IMF di Indonesia. Antara tahun 1998-2000, ketika Indonesia di dasar jurang krisis, ia ditunjuk menjadi direktur eksekutif pengganti (Alternate Executive Director) mewakili kawasan Asia Tenggara dalam Dewan Direksi IMF. Sebelumnya pun ia telah lebih dari duapuluh tahun berkiprah di pemerintahan, baik di BI maupun Departemen Perdagangan.
Buku ini mencerminkan kedalaman pengalamannya. Dalam lima bagian, ia memaparkan, dengan mendetail, sejarah pengelolaan krisis IMF. Ia mulai dengan bagian tentang krisis di Indonesia, diikuti tiga bagian tentang sejarah IMF, pelbagai krisis yang ditanganinya, serta strategi pencegahan krisis ke depan. Bagian akhir menilik peran IMF Indonesia, serta kebutuhan Indonesia pasca-IMF.
Cyrillus menolak anggapan bahwa peran IMF sepenuhnya buruk. Walaupun tidak mengecilkan ‘kesalahan fatal’ IMF menutup 16 bank, tindakannya kemudian, yang all-out membantu upaya keluar krisis, mencegah kehancuran total sistem keuangan Indonesia serta mengembalikan stabilitas ekonomi.
Setidaknya dalam dua hal, peran penting IMF menyelamatkan perekonomian tidak muncul di media massa. Pertama, dalam Program Penjaminan Simpanan, salah satu upaya yang berhasil mencegah total meltdown sistem perbankan. Peran bantuan teknis IMF besar dalam desain maupun promosi program yang diistilahkan Cyrillus sebagai “mukjizat” yang berhasil membalikkan derasnya arus uang keluar dari sistem perbankan.
Peran kedua adalah dalam menjamin kredit swasta. Menurut dia:
“...IMF telah bertindak melebihi tugasnya, dan bukan tidak mungkin telah pula mempertaruhkan kredibilitasnya, di mana Stanley Fischer [orang kedua IMF] secara sungguh-sungguh meyakinkan kepada para bankir luar negeri mengenai pentingnya menjaga credit line mereka di bank-bank di Indonesia.” (hlm. 49)
Garansi IMF ini memungkinkan terus berjalannya impor, dan mencegah kelangkaan barang dan inflasi tidak terkendali di Indonesia selama masa terburuk krisis.
Bagian kedua membahas tentang evolusi, mekanisme kerja, serta mitos dan misteri yang menyelubung IMF. Banyak detail seputar mekanisme bantuan, pengambilan keputusan, serta hubungan IMF dengan negara pemberi utang – detail yang agaknya seringkali tidak dimengerti oleh pengamat dan politisi – dijelaskan di sini. Oleh karena itu, saya merasa ini bagian yang menarik dan penting, terutama bagi politisi, pengamat serta pengkritik institusi internasional tersebut, agar mampu memilah antara mitos (seperti di awal tulisan ini) dan fakta.
Dalam bagian ketiga dan ke-empat, mencakup hampir setengah dari buku, dipaparkan sejarah krisis di pelbagai belahan negara. Pemaparannya akademis dan nyaris ensiklopedik, namun kedua bagian ini sesungguhnya terpisah dari keseluruhan narasi tentang IMF di Indonesia. Pembaca yang hanya tertarik menyelisik kisah IMF di Indonesia, dapat melewati bagian ini tanpa kehilangan yang berarti.
Bagian kelima menutup dengan meninjau kembali beberapa pertanyaan tentang keterlibatan IMF di Indonesia. Mungkin karena jeda antara penulisan dan penerbitan, beberapa bagian, seperti bab tentang prospek ‘lulusnya’ Indonesia dari IMF, terkesan terlambat. Terlepas dari itu, bagian ini dengan baik menutup wacana dengan refleksi optimis seorang mantan pembuat kebijakan tentang masa depan ekonomi Indonesia.
Sebagai penyeimbang wacana tentang peran salah satu institusi keuangan internasional yang sering disalahmengerti ini, IMF-PKIP cukup efektif. Namun, kadang IMF-PKIP terkesan apologetis. Beberapa kritik substantif peran IMF tidak dibahas memadai. Salah satunya adalah kritik ekonom Martin Feldstein, yang menganggap penyimpangan peran IMF di Indonesia dari balance-of-payment support ke reformasi kebijakan struktural telah melemahkan efektivitas dan kredibilitas program IMF di Indonesia.
Namun ini tidak menafikan kontribusi penting IMF-PKIP dalam khazanah keilmuan ekonomi dan sejarah ekonomi Indonesia. Sebagai bahan bacaan, IMF-PKIP bukanlah buku yang mudah: pada beberapa bagian, penulisannya akademis, teknis dan terkadang kering. Namun justru inilah kekuatannya: cakupannya yang komprehensif dan mendalam menjadikan IMF-PKIP pengantar wajib bagi mereka yang tidak puas dengan analisis dangkal yang ada tentang pengelolaan krisis di Indonesia.
Kita semua telah mendengar tentang Dana Moneter Internasional (IMF). Enam tahun di Indonesia, IMF hanya memperparah krisis dan membebani negara dengan utang yang lebih besar. IMF hanyalah instrumen imperialis negara-negara maju, terutama Amerika, dan dikuasai antek-antek Yahudi. Maka, patutlah dikumandangkan semangat ‘go to hell with the IMF!’ di Indonesia. Namun, benarkah demikian?
Cyrillus Harinowo, salah seorang kandidat pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) 2003 lalu yang lekat dengan pengelolaan aspek moneter selama krisis, tidak setuju. Buku terbarunya, IMF: Penanganan krisis dan Indonesia pasca-IMF (IMF-PKIP), menolak analisis dangkal, hitam-putih tentang peran ekonomi IMF yang kerap dimunculkan politisi maupun media massa. Penolakan pendangkalan ini menjadikan IMF-PKIP sebuah referensi berharga bagi pengamat, sejarawan, maupun mahasiswa ekonomi Indonesia.
***
Cyrillus memang dekat dengan penanganan krisis IMF di Indonesia. Antara tahun 1998-2000, ketika Indonesia di dasar jurang krisis, ia ditunjuk menjadi direktur eksekutif pengganti (Alternate Executive Director) mewakili kawasan Asia Tenggara dalam Dewan Direksi IMF. Sebelumnya pun ia telah lebih dari duapuluh tahun berkiprah di pemerintahan, baik di BI maupun Departemen Perdagangan.
Buku ini mencerminkan kedalaman pengalamannya. Dalam lima bagian, ia memaparkan, dengan mendetail, sejarah pengelolaan krisis IMF. Ia mulai dengan bagian tentang krisis di Indonesia, diikuti tiga bagian tentang sejarah IMF, pelbagai krisis yang ditanganinya, serta strategi pencegahan krisis ke depan. Bagian akhir menilik peran IMF Indonesia, serta kebutuhan Indonesia pasca-IMF.
Cyrillus menolak anggapan bahwa peran IMF sepenuhnya buruk. Walaupun tidak mengecilkan ‘kesalahan fatal’ IMF menutup 16 bank, tindakannya kemudian, yang all-out membantu upaya keluar krisis, mencegah kehancuran total sistem keuangan Indonesia serta mengembalikan stabilitas ekonomi.
Setidaknya dalam dua hal, peran penting IMF menyelamatkan perekonomian tidak muncul di media massa. Pertama, dalam Program Penjaminan Simpanan, salah satu upaya yang berhasil mencegah total meltdown sistem perbankan. Peran bantuan teknis IMF besar dalam desain maupun promosi program yang diistilahkan Cyrillus sebagai “mukjizat” yang berhasil membalikkan derasnya arus uang keluar dari sistem perbankan.
Peran kedua adalah dalam menjamin kredit swasta. Menurut dia:
“...IMF telah bertindak melebihi tugasnya, dan bukan tidak mungkin telah pula mempertaruhkan kredibilitasnya, di mana Stanley Fischer [orang kedua IMF] secara sungguh-sungguh meyakinkan kepada para bankir luar negeri mengenai pentingnya menjaga credit line mereka di bank-bank di Indonesia.” (hlm. 49)
Garansi IMF ini memungkinkan terus berjalannya impor, dan mencegah kelangkaan barang dan inflasi tidak terkendali di Indonesia selama masa terburuk krisis.
Bagian kedua membahas tentang evolusi, mekanisme kerja, serta mitos dan misteri yang menyelubung IMF. Banyak detail seputar mekanisme bantuan, pengambilan keputusan, serta hubungan IMF dengan negara pemberi utang – detail yang agaknya seringkali tidak dimengerti oleh pengamat dan politisi – dijelaskan di sini. Oleh karena itu, saya merasa ini bagian yang menarik dan penting, terutama bagi politisi, pengamat serta pengkritik institusi internasional tersebut, agar mampu memilah antara mitos (seperti di awal tulisan ini) dan fakta.
Dalam bagian ketiga dan ke-empat, mencakup hampir setengah dari buku, dipaparkan sejarah krisis di pelbagai belahan negara. Pemaparannya akademis dan nyaris ensiklopedik, namun kedua bagian ini sesungguhnya terpisah dari keseluruhan narasi tentang IMF di Indonesia. Pembaca yang hanya tertarik menyelisik kisah IMF di Indonesia, dapat melewati bagian ini tanpa kehilangan yang berarti.
Bagian kelima menutup dengan meninjau kembali beberapa pertanyaan tentang keterlibatan IMF di Indonesia. Mungkin karena jeda antara penulisan dan penerbitan, beberapa bagian, seperti bab tentang prospek ‘lulusnya’ Indonesia dari IMF, terkesan terlambat. Terlepas dari itu, bagian ini dengan baik menutup wacana dengan refleksi optimis seorang mantan pembuat kebijakan tentang masa depan ekonomi Indonesia.
***
Sebagai penyeimbang wacana tentang peran salah satu institusi keuangan internasional yang sering disalahmengerti ini, IMF-PKIP cukup efektif. Namun, kadang IMF-PKIP terkesan apologetis. Beberapa kritik substantif peran IMF tidak dibahas memadai. Salah satunya adalah kritik ekonom Martin Feldstein, yang menganggap penyimpangan peran IMF di Indonesia dari balance-of-payment support ke reformasi kebijakan struktural telah melemahkan efektivitas dan kredibilitas program IMF di Indonesia.
Namun ini tidak menafikan kontribusi penting IMF-PKIP dalam khazanah keilmuan ekonomi dan sejarah ekonomi Indonesia. Sebagai bahan bacaan, IMF-PKIP bukanlah buku yang mudah: pada beberapa bagian, penulisannya akademis, teknis dan terkadang kering. Namun justru inilah kekuatannya: cakupannya yang komprehensif dan mendalam menjadikan IMF-PKIP pengantar wajib bagi mereka yang tidak puas dengan analisis dangkal yang ada tentang pengelolaan krisis di Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home