Indonesia | Economics

Monday, December 06, 2004

Kwik Kian Gie: Tunjukkan subsidi BBM sama dengan uang keluar!

Akan dua kali saya mengkritisi tulisan Kwik Kian Gie tentang subsidi BBM. Agar seimbang, berikut tulisan yang saya kritisi tadi, dimuat di Bisnis Indonesia.



(Bisnis Indonesia, 13 Desember 2004). Tulisan ini yang keempat kalinya tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM). Isinya tentu banyak pengulangan sehingga mungkin membosankan pembaca. Tetapi apa boleh buat mengingat masalahnya menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dalam artikel sebelumnya penulis kemukakan bahwa berapa pun tingginya harga minyak mentah di pasar dunia, tidak ada subsidi yang diberikan dalam pengertian pemerintah mengeluarkan uang. Penulis minta dengan sangat agar masalah ini didiskusi secara terbuka dengan dua tujuan.

Pertama, mengikutsertakan masyarakat dalam memberi pendapatnya. Kedua, agar diperoleh kristalisasi guna mencapai kebenaran.

Menaikkan harga BBM, terutama bila sampai 40%, sangat memberatkan rakyat banyak dan seluruh aspek kehidupan ekonomi. Kalau ternyata titik tolak pikirannya [menaikkan harga BBM sampai 40%] sama sekali salah, maka risikonya akan membangkitkan gejolak sosial tanpa ada gunanya.

Belum lagi pertanyaan apakah menaikkan harga BBM, yang harus ditentukan oleh permintaan dan penawaran di luar Indonesia, tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Ini karena minyak merupakan kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Seperti ditulis dalam tiga artikel terdahulu, dengan harga bensin-yang rata-rata Rp2.000 per liter (Rp1.850 untuk premium dan Rp2.150 bagi premix) sekarang-pemerintah memperoleh kelebihan uang sebesar Rp1.460 per liter. Kelebihan uang ini tetap saja tidak ada hubungannya dengan tinggi-rendahnya harga minyak mentah di pasar dunia.

Untuk menjelaskannya penulis mulai dengan gambar yang sama (lihat gambar). Penulis memohon agar gambar ini selalu digunakan sebagai acuan dalam membaca tulisan ini.

Angka-angka pada gambar itu didasarkan pada asumsi sebagai berikut: Harga minyak mentah di pasaran dunia US$50 per barel (1 barel=159 liter). Nilai tukar rupiah= Rp8.600 per US$. Harga jual kepada konsumen diambil rata-rata Rp2.000 per liter, yaitu dari Rp1.850 per liter untuk premium dan Rp2.150 per liter bagi premix.

Biaya penyedotan minyak dari perut bumi ke permukaan bumi ditambah biaya pengilangan sampai menjadi bensin, ditambah biaya pengangkutan sampai pada pompa-pompa bensin sebesar US$10 per barel (sebagai rule of thumb).

Perhitungannya, untuk seluruh biaya adalah (10x8.600):159=Rp540 per liter. Harga minyak mentah di pasar dunia per liter (50x8.600):159=Rp2.700 (dibulatkan). Biaya untuk dijadikan bensin ditambah biaya penyedotan, pengilangan, dan pengangkutan sebesar Rp540 per liter, maka seluruhannya Rp3.240 per liter.

Gambar itu dibuat sederhana dari gambaran yang rumit. Namun tidak mengurangi esensi yang hendak dikemukakan, yaitu pemerintah sama sekali tidak mensubsidi BBM kepada konsumen Indonesia.

Pemerintah bahkan mendapat kelebihan uang tunai dari penjualan BBM dengan harga yang berlaku, yaitu Rp1.850 per liter untuk premium dan Rp2.150 bagi premix (rata-ratanya Rp2.000 per liter). Gambar itu juga menunjukkan bahwa pemerintah mendapat kelebihan uang sebesar Rp1.460 per liter tanpa ada hubungannya dengan berapa pun harga minyak mentah di pasar dunia.

Bagi yang sulit membaca gambar itu, dapat dijelaskan sbb: Minyak yang ada di perut bumi milik seluruh bangsa Indonesia. Supaya bisa menjadi bensin, perlu dilakukan tiga hal, yaitu memompa, mengilang, dan mengangkut sampai di pompa bensin.

Untuk seluruh tiga proses itu, biaya kasarnya sebagai rule of thumb sebesar US$10 per barel. Kalau dijadikan rupiah per liter, dengan asumsi nilai tukar Rp8.600 per US$, jatuhnya (10x8.600):159=Rp540 per liter.
Pemerintah memonopoli seluruh pengelolaan minyak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka bensin termasuk barang yang dikontrol dengan harga yang dikontrol pula. Harga itu ditentukan Rp1.850 untuk premium dan Rp2.150 bagi premix atau rata-rata Rp2.000 per liter.

Jadi, pemerintah mengeluarkan uang Rp540 per liter dan memperoleh uang Rp2.000 per liter. Maka pemerintah kelebihan uang sebesar selisihnya, yaitu Rp1.460 per liter.

Sering dikatakan bahwa Indonesia sudah menjadi importir neto minyak bumi. Artinya, konsumsi minyak sudah lebih besar daripada produksi. Maka yang secara neto harus diimpor, harus dibayar dengan harga pasar dunia, sedangkan penjualannya kepada konsumen lokal dengan harga Rp2.000 per liter.

Penulis telah mengecek langsung kepada pejabat yang berwewenang. Pejabat itu mengatakan Indonesia tidak selalu net importer. Kadang impas dan kadang surplus.

Kalau pendapatan dari ekspor gas alam ditambahkan, negeri ini masih surplus. Ini karena potensi gas alam yang belum digarap sangat besar.

Subsidi

Mengapa ada sebutan subsidi? Penulis tidak mengetahuinya.

Penulis menduga selisih harga pokok bensin yang didasarkan atas harga minyak di pasar dunia dan harga bensin yang dijual kepada rakyat Indonesia itulah yang disebut subsidi.

Dalam gambar, harga minyak mentah di pasar dunia dianggap US$50 per barel. Bila per liter dibagi dengan 159, maka jatuhnya US$0,314. Dan bila dijadikan rupiah dengan kurs Rp8.600 per US$, maka menjadi 0,314x8.600=Rp2.700. Ini harga minyak mentah.

Seluruh biaya untuk menjadikan bensin siap pakai sebesar Rp540 per liter seperti yang dikemukakan tadi. Dengan demikian, harga bensin atas dasar harga minyak mentah di pasar dunia menjadi Rp3.240 per liter.
Selisih antara harga jual kepada rakyat yang Rp2.000 per liter dan harga bensin yang didasarkan pada harga minyak di pasar dunia disebut subsidi. Apa gunanya dan apa pula relevansinya berpikir seperti ini, penulis tidak tahu!

Penulis hanya bisa menduga bahwa mekanisme pasar sudah dijadikan semacam agama yang harus berlaku mutlak. Jadi, harga barang apa pun harus ditentukan oleh titik perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran yang berlaku di dunia.

Titik perpotongan ini ditentukan di New York atas dasar 30% dari volume minyak mentah yang diperdagangkan jauh lebih tinggi dari harga BBM untuk konsumen Indonesia. Jadi, harga yang lebih tinggi inilah yang harus berlaku. Kalau tidak merasa rugi, walaupun tidak ada kerugian dalam bentuk uang tunai.

Bantahan penulis, ini sangat konyol. Semua minyak mentah di Indonesia milik seluruh rakyat negeri ini.

Pemerintah dan DPR telah menetapkan bahwa pengadaan BBM harus dimonopoli. Maka bentuk pasarnya yang sudah ditentukan oleh seluruh rakyat Indonesia, melalui pemerintah dan DPR, adalah monopoli. Tetapi mengapa yang dipakai kok bentuk pasar dengan perfect competition, dan itu pun yang terjadi jauh di luar wilayah Indonesia.

Penulis tahu bahwa yang dibicarakan adalah APBN pemerintah pusat. Penulis juga tahu bahwa bagi hasil didasarkan pada harga pasar dunia. Tetapi semua itu merupakan kebijakan yang salah yang harus dikoreksi, bukan justru membebankan kepada rakyat banyak.

Keadilan

Dikatakan tidak adil bila para pemilik mobil mewah yang kaya itu diberi bensin oleh pemerintah dengan harga murah. Maka harganya perlu dinaikkan agar pemerintah memperoleh pendapatan ekstra yang bisa dipakai untuk memberikan berbagai pelayanan kepada rakyat miskin. Boleh saja ada pikiran seperti ini tetapi argumentasinya jangan diputar-putar seolah-olah pemerintah harus mengeluarkan uang tunai besar sekali yang disebut subsidi.

Tentang keadilan ini dapat diperdebatkan. Apakah benar pengendara mobil sedan kecil, kendaraan komersial, bus, dan bajaj adalah kemewahan?

Kalau harga bensin dinaikkan, mereka akan menderita. Jangan lupa dampak kenaikan BBM, yaitu ikut naiknya harga semua barang dan jasa, sehingga makin menyengsarakan rakyat kecil.

Setiap ada kenaikan harga BBM, terjadi demonstrasi oleh rakyat kecil.

Rakyat yang kaya tidak pernah berdemonstrasi karena mereka sama sekali tidak merasakan dampak kenaikan harga BBM. Pengeluaran untuk bensin, berapa pun besarnya, merupakan persentase yang sangat-sangat kecil dari keseluruhan pengeluaran kelompok masyarakat kaya ini.

Kekayaan kelompok ini begitu besar sehingga tidak dapat dibayangkan.

Kalau pemerintah memang mau mendapatkan pemasukan ekstra dari kelompok kaya ini, maka kepemilikan mobil di atas jumlah CC tertentu dikenakan pajak setinggi-tingginya. Jangan accross the board dipajaki semua, dan kemudian mengatakan kepada yang miskin diberikan imbalan khusus.

Ini dalam praktiknya sangat sulit. Bagaimana menentukan target dan apa bentuk imbalannya? Penulis tidak berbicara di awang-awang tapi atas dasar pengalaman betapa sulitnya.

Keuangan pemerintah menghadapi kendala sangat besar. Biang keladinya adalah utang, baik luar negeri maupun dalam negeri.

Siapakah yang bersalah membuat utang sampai demikian besar? Pembuat utang tentu bukan rakyat yang sudah miskin tetapi pemerintah yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional. Namun mengapa rakyat lagi yang disuruh menanggung beban utang tersebut?

Menurut berbagai undang-undang, persen tertentu dari hasil produksi harus dikembalikan kepada pemerintah daerah. Jumlah uang yang dikembalikan sebagai bagi hasil itu didasarkan pada harga minyak dunia yang sangat tinggi.

Maka kepada konsumen juga harus dikenakan harga yang sama. Tetapi bagaimana dengan daerah di luar Jawa yang menikmati beras dari Jawa yang sangat murah itu?

Yang adil adalah mengubah peraturan yang tidak adil itu, bukan lantas membebani rakyat seluruhnya.

Penulis ingin menegaskan belum tentu penulis benar. Karena itu, penulis mohon agar tulisan ini dibantah dan "ditelanjangi" demi kepentingan orang banyak.

5 Comments:

  • Seharusnya yang di subsidi adalah BBM yang di impor saja. Sebagai contoh, jika kebutuhan kita 100 barel per bulan, dan dapat di penuhi dari dalam negeri sebanyak 80 barel per bulan. jadi 20 barel di beli dari luar, nah yang 20 barel aja yang disubsidi.

    Kalau BBM yang di produksi sendiri ya jangan di jual ke rakyat seperti harga di New York ... ambil untung dikit ya boleh lah, tapi jangan kebanyakan. misalnya, sperti yang dikatakan penulis, biaya produksi per barel adalah $USD 10, mungkin bisa di jual $USD 20. jangan ikut-ikutan jual $USD 100 seperti di NY (saat ini 2008, beberapa hari lalu harga minyak perdagangan dunia mencapai 100 dollar/ barel

    begitu kira-kira pendapat saya, ada pandangan lain?

    salam

    Partisimon Partogi

    By Anonymous Anonymous, at 1/08/2008 07:07:00 am  

  • Partisimon:
    Mungkin terbalik maksudnya: Yang 80 barel disubsidi, 20 barel saja yang tidak disubsidi? Atau saya yang salah mengerti?

    Catatan saja, ini adalah pendapat Kwik Kian Gie. Seperti yang saya tuliskan di sini, saya pikir Kwik salah kaprah dan saya curiga dia sebenarnya tahu itu.

    Soal BBM yang diproduksi sendiri jangan dijual seharga pasar dunia, bisa dilihat di tulisan tadi. Pendeknya, ini ide yang buruk karena pemerintah kehilangan potensi anggaran dari penjualan BBM (ke kelas menengah Indonesia). Padahal anggaran ini bisa digunakan membangun fasilitas umum yang terutama menguntungkan rakyat kebanyakan -- terutama yang miskin.

    By Blogger Arya Gaduh, at 1/08/2008 09:23:00 am  

  • sangat setuju, apabila pemimpin tidak adil dia akan mendapat balasan yang setimpal di akherat nanti.
    Bahkan sebelum mati saja dia akan sengsara, tobat lah sekarang juga, paling -paling umur kalian 20-30 tahun lagi. Jabatan adalah Amanah, bila melanggar Amanah itulah salah satu ciri orang Munafik dan termasuk dosa besar dan tidak di ampuni Allah SWI.

    By Blogger Idar Minsang, at 12/14/2008 10:20:00 pm  

  • pak apa mungkin ini karena sumber minyak kita dijual kepada exxon dan lain - lain, dan kemudian kita membelinya dari mereka. jadi sama saja kita import hitungannya?

    By Anonymous Anonymous, at 3/06/2009 06:26:00 pm  

  • mikro impact ke rakyat kecil akibat kenaikan bbm sangat terasa; harga mengikuti fenomena system chaostic para pengusaha puyeng, buruh menuntut, kredit dipersulit,rate naik, program pemerintah tetap tidak merata karena kebijakan cenderung clustering padahal masyarakat sudah seperti pasar bebas

    By Blogger Unknown, at 3/29/2009 08:14:00 am  

Post a Comment

<< Home