Indonesia | Economics

Sunday, December 12, 2004

Jika 'Kwik-solution' dipakai merancang strategi perusahaan...

Kwik Kian Gie sedang dalam misi. Misinya: menolak pencabutan subsidi BBM, apapun bentuknya. Konon, empat kali ia menulis - dua yang di Bisnis Indonesia praktis adalah tulisan yang sama - untuk mempersoalkan benar-tidaknya subsidi uang keluar. Kalau logika kritiknya atas subsidi diterapkan mengelola keuangan perusahaan, seperti apa jadinya?

Menolak argumentasi pemerintah subsidi bahan bakar minyak (BBM) memberatkan anggaran, Kwik Kian Gie bersikeras subsidi BBM itu sama sekali tidak berarti "uang keluar" (Bisnis, 22/11 dan 6/12) - dan, secara implisit, berarti tidak memberatkan anggaran. Katanya, dijual pada harga berapapun, selama di atas biaya ekstraksi, penjualan BBM tetap berarti pemasukan. Maka Pak Kwik "tidak mengerti" mengapa subsidi BBM dianggap pengeluaran anggaran.

Kwik melihat masalah subsidi BBM ini secara pembukuan atau akuntansi . Secara pencatatan pembukuan, aset tidak dianggap mempengaruhi kinerja selama belum dikapitalisasi alias dijual dan menjadi pemasukan perusahaan. Dan, karena BBM adalah aset yang didapatkan secara "gratis", maka dijual pada harga berapa pun, selama positif, itu berarti pemasukan bagi pemerintah.

Secara pembukuan, tak ada yang salah dengan argumen ini. Namun, jika strategi dan perencanaan keuangan perusahaan didasarkan pada perhitungan pembukuan semata, seperti yang implisit diusulkan oleh Kwik, sulit bagi perusahaan untuk bertahan lama.

Bayangkan sebuah perusahaan mendapat hibah 100 hektar tanah. Dari sudut pembukuan, dijual pada harga berapa pun tanah tersebut, tidak menjadi masalah. Bahkan, dijual sehektarnya seribu rupiah pun, secara pembukuan menunjukkan kinerja positif. Namun, apakah optimal perusahaan menjual tanahnya pada seribu rupiah per hektar?

Jawab atas pertanyaan ini: tergantung. Akan masuk akal tanah dijual pada seribu rupiah seandainya itu harga maksimum yang rela dibayar para pembeli. Namun, jika ada pembeli rela membeli pada harga dua ribu – atau bahkan sepuluh ribu – maka keputusan menjual pada harga seribu tidak optimal.

Tapi, bagaimana kita bisa tahu (kisaran) harga maksimum tadi? Umumnya, perusahaan yang ingin mengoptimalkan nilai asetnya akan melakukan survai ke, lalu mencari tahu kira-kira harga tanah di sekitar tanah yang mereka miliki – dalam istilah awamnya, sering kita sebut “harga pasaran”. Lalu, mereka pun akan menjual semahal-mahalnya sekitar harga pasaran tadi.

Perusahaan mendapat mandat dari stakeholder, yakni pemilik modal, untuk menggunakan aset seoptimal mungkin demi kemakmuran perusahaan. Karena itulah, seandainya ada perusahaan yang menjual pada harga seribu ketika harga pasarannya sepuluh ribu, stakeholder berhak meminta pertanggungjawaban dan bahkan mungkin memecat pemimpin perusahaan.

Namun, dengan hanya melihat pembukuan perusahaan, pemilik modal tidak serta merta tahu apakah pengelola perusahaan mengoptimalkan nilai asetnya tadi. Sang pemilik modal harus tahu “harga pasaran” – atau harga yang pantas atas aset yang dikelola perusahaan. Informasi ini tidak didapatkan dari catatan pembukuan, tetapi dari informasi yang berada di luar pembukuan perusahaan.

Karena itulah, pengelola perusahaan yang sukses tidak akan melakukan perencanaan melulu berdasarkan informasi yang disediakan pembukuan. Diperlukan informasi “harga pasaran” sebagai acuan untuk menelaah sejauh mana aset miliknya digunakan optimal.

Pembukuan hanya bisa menunjukkan adanya pemasukan seratus miliar dari penjualan aset – pembukuan semata tidak bisa menunjukkan bahwa aset tersebut sebenarnya potensial bisa menghasilkan dua ratus miliar.

Itulah sebabnya, saya yakin Pak Kwik tidak akan menerapkan nasihatnya tentang pengelolaan aset BBM ini di perusahaannya sendiri – karena ia tahu bahwa ini berarti bahwa aset perusahaan tidak dikelola optimal, dan dalam waktu singkat, perusahaannya akan bangkrut karenanya. Untuk pengelolaan optimal, informasi harga pasar perlu.

Namun, tentu saja nasihat ini tidak ditujukan Kwik bagi perusahaan melainkan bagi pemerintah yang memiliki “misi sosial”. Dengan adanya misi sosial, mungkin optimalitas tidak selalu harus menjadi yang utama.

Sayangnya, dalam kasus subsidi BBM, terutama subsidi bensin, tidak ada misi sosial yang legitim – kebijakan subsidi BBM adalah kebijakan yang tidak adil karena lebih berpihak kepada si kaya yang memiliki kendaraan bermotor daripada yang tidak. (Silakan lihat tulisan amat baik dari Chatib Basri di sini).

Subsidi BBM: tidak optimal dan tidak juga adil. Kenapa mau dipertahankan?

6 Comments:

  • It’s a country not a company… and I think Mr.Kwik just trying to emphasize that the government shouldn’t be lying to its people.

    Indonesia government is one of the most capitalistic country in the world, and there’s nothing wrong with that. But never ever lying and presents it self as socialist by telling the masses that the “subsidized BBM” were only benefiting the rich peoples.

    Cheers
    r0ckville@yahoo.com

    By Anonymous Anonymous, at 7/21/2007 05:29:00 am  

  • Rockville:

    The government (and many economists) aren't saying that subsidized BBM were only benefiting rich people -- they are saying that they disproportionately benefit to rich people.

    I don't think the government lied. Instead, I think Kwik was being less than honest when he accused the government of lying. My point here is that as a businessman, he should have known the meaning of "opportunity cost".

    By Blogger Arya Gaduh, at 7/21/2007 07:56:00 am  

  • Arya,

    mau tanya, apa pendapat Arya tentang tulisan Chatib Basri dan usulan kebijakan berikut:

    Titik berangkat: "Subsidi (kondisi status quo) menguntungkan kelompok kaya".

    Solusi untuk hal diatas...

    Skenario A

    Mencabut subsidi across-the-board seraya melakukan "transfer" bersyarat pada kelompok miskin.

    (Ini mirip usul "mulia" Chatib Basri yang "memihak" masyarakat miskin)

    Skenario B

    Membiarkan subsidi tetap ada, lalu melakukan "redistribusi" dengan "instrumen pajak" yang mengikuti fungsi pendapatan.

    (Tentunya, di skenario ini, Kwik mesti bayar pajak lebih tinggi dibanding saya dan Arya :)

    Makasih,
    Maesa

    By Anonymous Anonymous, at 9/10/2007 10:02:00 am  

  • Maesa:
    Pertanyaan Anda mengingatkan saya pada kejadian ketika Suharto memanggil para pengusaha kaya ke Tapos.

    Ketika itu, antara lain akibat tekanan publik tentang perilaku 'istimewa' bagi kroni dan keluarga (baca: transfer/"subsidi" kepada orang-orang kaya), Suharto mengumpulkan para pengusaha itu untuk 'memandatkan' agar mereka menyisihkan cukup banyak penghasilan mereka untuk hal-hal sosial.

    Menurut Anda, apakah mandat Suharto ini merupakan 'kebijakan alternatif' yang bisa diterima untuk menyelesaikan tuntutan publik untuk menghapus "subsidi" kepada sebagian kecil pengusaha dekatnya itu?

    Pajak progresif -- sesuatu yang baik -- tidak serta merta menghapus kebutuhan untuk mengeliminasi subsidi yang buruk. Kedua kebijakan tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.

    By Blogger Arya Gaduh, at 9/10/2007 03:12:00 pm  

  • Makasih Arya atas jawabannya.

    Kutip dari Arya:

    "Menurut Anda, apakah mandat Suharto ini merupakan 'kebijakan alternatif' yang bisa diterima untuk menyelesaikan tuntutan publik untuk menghapus "subsidi" kepada sebagian kecil pengusaha dekatnya itu?"

    kalau saya jawab "bisa", pasti saya akan dilempari batu....hehehe.

    Tampilan luar komparasi Arya itu "agak mirip" antara "subsidi tak pantas untuk pengusaha kroni Suharto di Tapos itu" dengan "subsidi tak pantas untuk kaum kaya".

    Tapi, melakukan padanan antara skenario saya dengan cerita Tapos itu bukan tidak bermasalah. Meski sama-sama buah, mangga dan manggis adalah dua entitas berbeda.

    Antara lain, misalnya, instrumen fiskal(Arya menyebutnya "pajak progresif", dan menerimanya sebagai hal baik), tidak serupa dengan "niat baik" Suharto yang menghimbau "niat baik" pengusaha untuk menyisihkan sebagian kekayaannya. Pajak progresif punya efek redistributif lebih lugas dan masif dibanding "kebijakan alternatif ala Tapos" itu.

    Menyebut bahwa pencabutan subsidi yang "tidak tepat" adalah komplemen dengan pajak progresif - dan bukan substitut - bikin saya bakal makin rajin mengunjungi blog ini. Seperti diserukan ditempat lain, Arya punya bakat jadi menteri :) (Pls take it as an honest compliment).

    Punya arsip artikel, dimana Chatib Basri bicara potensi pajak progresif sebagai perangkat transfer pelengkap?

    Salam,
    Maesa

    By Anonymous Anonymous, at 9/11/2007 08:53:00 am  

  • Maesa:
    Simplifikasi ini memang saya lakukan untuk mengilustrasikan (apa yang saya pikir sebagai) fitur penting pertanyaan Anda: Membiarkan subsidi buruk, sambil melakukan redistribusi lewat pajak.

    Komparasi dengan kisah Suharto di Tapos memang agak kurang adil (mengingat stigma buruk rezim tersebut), tapi saya yakin Anda menangkap esensi perbandingan tersebut: Bahwa kebijakan redistribusi yang baik bukan obat bagi kebijakan redistribusi yang buruk -- apalagi jika pemerintah mampu memperbaiki kebijakan redistribusi yang buruk tersebut.

    Soal artikel Chatib Basri tentang pajak progresif, saya tidak tahu karena tidak terlalu mengikuti tulisan koran secara rutin. Namun, setahu saya, Chatib seorang 'penganut' Rawlsian -- dan saya pikir ini cukup konsisten tercermin di tulisan-tulisannya.

    By Blogger Arya Gaduh, at 9/11/2007 09:11:00 am  

Post a Comment

<< Home